Ajaran sebab akibat ( causaliteit leer)

Senin, 25 April 2011

Apa itu ?

Ajaran kausalitas mempunyai sejarah panjang dalam dunia hukum. Meski sebelumnya ajaran kausalitas lebih populer dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan filsafat, kepopuleran kausalitas merentang dalam lintas disiplin ilmu terutama ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Berbeda dengan ilmu alam yang melihat kausalitas secara umum, hukum melihat hubungan kausalitas dari segi partikularistik. Hukum berkonsentrasi kepada apakah A mengakibatkan terjadinya kebakaran terhadap B, dan bukan apakah A mengakibatkan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hukum perdata, ajaran kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggungjawaban atas kejahatan yang mengandung ketidakpastian kausal (causal uncertainty).Kisah Erin Brockovich dapat dijadikan contoh, sebuah perusahaan minyak yang menjalankan produksinya di sekitar pemukiman masyarakat yang berangsur-angsur meninggalkan kediamannya dengan kompensasi. Beberapa tahun kemudian, masyarakat mengidap pelbagai macam penyakit yang menyebabkan meninggal dunia. Setelah diselidiki, ternyata penyebab penyakit adalah polusi dari perusahaan tersebut yang tidak melaksanakan standar baku yang ditetapkan.

Ketidakpastian kausal tesebut terjadi lantaran akibat yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut tidak serta merta nampak setelah perbuatan dilakukan tetapi akibatnya baru dapat diidentifikasi beberapa waktu lamanya. Dalam konteks ini, terdapat justifikasi ekonomi untuk membatasi pertanggungjawaban pelaku atas kerusakan yang timbul.Penentuan pertanggungjawaban hukum (perdata) didasarkan kepada pembagian probabilitas yang dinilai berpotensi menyebabkan akibat.

Sedangkan kausal yang pasti (certain causal) lebih mudah diidentifikasi karena akibatnya muncul setelah perbuatan dilakukan. Bentuk sederhana ini mengikuti kausalitas ilmu pengetahuan alam yang digambarkan A menyebabkan B; terjadinya A menyebabkan terjadinya B.

Uraian di atas merupakan sebagian dari doktrin hubungan kausalitas yang telah berlaku lama dalam hukum perdata (tort law). Doktrin tersebut diadaptasi dalam hukum pidana yang menggunakan ajaran kausalitas dalam menentukan keterkaitan antara perbuatan dan akibat.

Sebelum hukum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa melukai sebagai satu-satunya sebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai orang dapat mengakibatkan kematian tetapi harus dilihat dahulu apakah luka tersebut menurut sifatnya dapat mengakibatkan matinya orang.

Dalam pandangan common law yang mayoritas menganut monistis, ajaran kausalitas berjalin kelindan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana. Kendati literatur common law mengakui ajaran kausalitas terdiri dari perbuatan, akibat dan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), pembahasan kausalitas lebih cenderung menitikberatkan pertanggungjawaban pidana secara tidak seimbang dengan perbuatan dan akibatnya. Ketidakseimbangan ini terjadi lantaran atribusi pertanggungjawaban dalam kerangka kausalitas lebih sulit dibandingkan tentang perbuatan. Eric Colvin menjelaskan perlunya deferensiasi awal antara hubungan kausal dan pertanggungjawaban kausal. Menurutnya, langkah pertama adalah mencari hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat. Langkah kedua adalah melakukan atribusi pertanggungjawaban pidana kepada pelaku.

Sistematika dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana menolak penggabungan kausalitas dengan pertanggungjawaban pidana lantaran keduanya berada dalam lingkup yang berbeda. Kausalitas merupakan bagian dari bentuk perbuatan dan akibatnya sehingga lingkupnya masuk dalam perbuatan pidana. Sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan dapat dipidananya orang. Karenanya, keduanya harus dianggap terpisah meskipun langkah kedua yang harus dilakukan untuk menjatuhkan pidana, setelah terbukti (kausalitas) perbuatan, adalah apakah perbuatan dan akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku.


A. TEORI KAUSALITAS

1. Teori Conditio Sine Qua Non; But-For Test
Von Buri mengawali diskursus tentang ajaran kausalitas dengan teorinya conditio sine qua non yang secara literal berarti syarat mana tidak (syarat mutlak). Teori ini tidak membedakan antara syarat dan sebab yang menjadi inti dari lahirnya berbagai macam teori dalam kausalitas. Menurut Buri, rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat harus dipandang sama dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat. Rangkaian syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Karena kesetaraan kedudukan setiap sebab, teori ini dinamakan juga dengan teori ekuivalen. Dengan demikian, setiap sebab adalah syarat dan setiap syarat adalah sebab.

Jika kita menerapkannya terhadap kasus selop, maka pendapat von Buri memiliki lingkup terlalu luas dalam mengidentifikasi sebab. Menurutnya, sebab tidak hanya tertuju kepada keadaan ataupun kejadian terdekat dengan terjadinya akibat seperti, adanya tulang kepala korban yang tipis ataupun pemukulan dengan sandal tebal, melainkan juga melibatkan rentetan kejadian yang terjadi sebelumnya termasuk penjual atau pembuat sandal.

Sebagai ilustrasi, A berniat membunuh B dengan menembakkan peluru di bagian dada. Ternyata tembakan tersebut tidak membunuh B, namun A melarikan diri karena panik. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, B berjumpa dengan C yang juga menaruh dendam kepada B. C memukul B hingga terjatuh ke dalam selokan yang berisi air kotor. C meninggalkan B. Kemudian B berhasil sampai di Rumah Sakit dan ditangani oleh dokter D. Karena kurang cermat, D memberikan obat padahal masih terdapat sisa amunisi dalam lukanya setelah dibersihkan sehingga memperburuk keadaan B. Setelah beberapa lama kemudian, B meninggal dunia.

Dalam perspektif conditio sine qua non yang tidak membedakan antara syarat dan sebab, perbuatan penembakan, pemukulan, salah diagnosa dan kurang cermat dalam membersihkan luka korban merupakan serangkaian sebab yang menimbulkan akibat secara bersamaan. Hilangnya salah satu sebab dari rangkaian tersebut menyebabkan akibat tidak terjadi. Teori ini tidak melakukan pemilihan atas sebab yang dinilai paling berpengaruh terjadinya akibat. Konsekuensinya, bukan hanya A, C dan D yang adekuat dengan akibat melainkan juga meliputi (pembuat) peluru dan senapan karena kedua alat tersebut turut mengakibatkan matinya korban.

Rangkaian tak terputus dalam teori conditio sine qua non menjadi satu kelemahan tersendiri. Salah satu pembela teori ini, van Hamel, menyarankan agar penggunaan teori conditio sine qua non disertai dengan ajaran tentang kesalahan untuk melekatkan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang dipandang paling potensial dalam menimbulkan akibat.

Teori conditio sine qua non disamakan dengan but-for test dalam literatur hukum anglo America. Lebih khusus lagi, pandangan van Hamel serupa dengan pandangan yang dikemukakan oleh Hart dan Honoré yang menggabungkan but-for cause dengan proximate cause dalam menentukan hubungan kausalitas. Menurutnya, pendekatan dua sisi, but-for cause dan proximate cause, sangat berguna untuk menjaring fakta-fakta yang berperan dalam terjadinya akibat yang dilanjutkan dengan pembatasan tanggung jawab.

Lebih lanjut, Hart dan Honoré menjelaskan bahwa kebanyakan ahli hukum mendasarkan pengertian sebab-akibat pada pengertian sehari-hari. Kerap kali masyarakat memandang sesuatu yang mengubah hal tertentu dari status quo sebagai bagian dari hubungan kausalitas. Dalam konteks ini, Hart dan Honoré menganggap teori but-for sebagai cara yang sederhana dalam menentukan hubungan kausalitas antara pelaku dan kejahatan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kejahatan tersebut dalam keadaan tertentu dapat terjadi tanpa adanya pelaku (agency). Jika kejahatan terjadi, maka barang kali pelaku bisa menjadi salah satu sebab atau bukan merupakan sebab dari kejahatan-kejahatan tersebut. Namun sebaliknya, apabila kejahatan tidak terjadi tanpa adanya pelaku, maka pelaku dipastikan menjadi syarat yang relevan secara kausal dengan terjadinya akibat atau dalam bahasa minimalisme kausal disebut cause-in-fact dari kejadian tersebut.

Honoré sendiri menyadari bahwa cakupan teori but-for yang luas menyulitkan pemilihan syarat yang adekuat (sebab) dengan akibat. Terminologi kausalitas yang biasa digunakan dalam keseharian mereka serta penerapan mekanisme ilmu alam meniscayakan rentetan peristiwa tanpa putus sebelum terjadinya akibat. Dengan demikian, hukum menemui kesulitan dalam menentukan sebab yang adekuat dengan akibat lantaran rentetan syarat tersebut merupakan suatu keharusan (if and only if).

Teori but-for juga menemukan kesulitan tatkala dihadapkan kepada kasus kausalitas di bawah tekanan (over determination) dan determinasi yang dilakukan secara bersamaan (joint determination). Salah satu contoh kasus overdetermination dapat ditemukan dalam kasus doen plegen yang menempatkan pelaku sebagai manus ministra. Seorang pegawai pos, misalnya, mengantar bungkusan berisi bom yang meledakkan rumah A. Pegawai pos tidak mengetahui isi bungkusan tersebut dan oleh karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. But-for test memandang pengiriman sebagai sebab yang secara intuitif menimbulkan akibat (ledakan bom). Namun atribusi pertanggungjawaban tidak dapat dilekatkan kepada pelaku sehingga tidak terjadi hubungan kausalitas.

Berbeda dengan cause in fact yang didasari pengertian sehari-hari tentang kausalitas, pertanggungjawaban yang dilekatkan kepada pelaku didasarkan kepada pengertian hukum. Tanggung jawab ini membatasi cakupan cause in fact yang terlalu luas dan memutuskan adanya hubungan kausalitas berdasarkan atribusi tanggung jawab tersebut. Dalam perspektif monistis, pandangan ini tidak menemui kejanggalan, khususnya penganut teori conditio sine qua non yang memandang hubungan kausalitas terjadi manakala terdapat cause in fact dan pembatasan tanggung jawab yang tertuang dalam proximate cause yang bertujuan melakukan filterisasi atas ekuivalensi syarat dengan pembedaan syarat dan sebab. Dengan kata lain, “syarat yang paling dekat dengan akibat” adalah sebab.

Kombinasi cause in fact dan proximate cause merupakan sebuah keharusan untuk membatasi rangkaian kausalitas tanpa batas yang dipahami oleh conditio sine qua non ataupun but-for test. Kendati terdapat kelemahan dalam teori conditio sine quo non terutama bagi pandangan dualistis, teori ini sangat populer di Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam Model Penal Code (MPC) yang secara tegas menyatakan teori ini sebagai acuan dalam menentukan adanya kausalitas. MPC mendefinisikan but-for test sebagai “conduct is the cause of a result when: (a) it is an antecedent but for which the result in question would not have occurred. . .”. Sementara itu, pedoman proximate cause guna membatasi kausalitas ditegaskan dalam the Book of Approved Jury Instructions (“BAJI”) yang merekomendasikan standar instruksi bagi para juri dalam meutuskan hubungan kausalitas dan pertanggungjawaannya, yaitu “A proximate cause of injury is a cause which . . . produces the injury and without which the injury would not have occurred”.

2. Teori Peramalan Subyektif (Subjective Prognose)
Selanjutnya proximate cause dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertanggungjawaban terhadap hubungan kausalitas prospektif dan pertanggungjawaban terhadap hubungan kausalitas retrospektif. Hubungan kausalitas prospektif yang disebut juga dengan teori peramalan subyektif menyimpulkan adanya hubungan kausalitas dari dugaan menurut akal sehat tentang sebab yang dapat menimbulkan akibat. Hubungan kausalitas disimpulkan secara subyektif berdasarkan ukuran-ukuran umum menurut akal sehat terhadap orang yang dinilai paling berpotensi bertanggung jawab atas terjadinya akibat. Dikatakan subyektif karena akibat tidak didasarkan kepada keadaan-keadaan obyektif dari hubungan kausal melainkan didasari dugaan atas peristiwa yang lazim terjadi secara ante factum. Selain itu, penentuan adanya kausalitas ditentukan juga dengan pengetahuan terdakwa tentang kemungkinan terjadinya akibat dari perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, pelaku yang tidak mengetahui kemungkinan terjadinya akibat dari pebuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas tadi. Pembenaran teori ini dapat dilihat dari keputusan Privy Council dalam kasus Wagon Mound yang menyatakan, “...if it is asked why a man should be responsible for natural or necessary or probable consequences of his act (or any similar description of them) the answer is that it is not because they are natural or necessary or prabable, but because, since they have this quality, it is judged by te standard of the reasonable man that he ought to have foreseen them”.

Subyektifitas dalam menentukan hubungan kausalitas yang didasari perkiraan akal sehat mempunyai kelemahan tersendiri terutama terkait dengan keterbatasan akal yang hanya mengetahui peristiwa-peristiwa yang lazim terjadi. Karenanya, sering kali teori peramalan subyektif mengabaikan fakta-fakta penting yang menyebabkan terjadinya akibat dengan alasan bahwa fakta-fakta tesebut tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat diketahui dengan pasti menurut akal sehat. Sebaliknya, fakta-fakta tesebut malah dinilai sebagai pemutus hubungan kausalitas. Dengan kata lain, terjadinya peristiwa yang tidak sesuai dengan perkiraan akal sehat justru memutus rangkaian kausalitas meski peristiwa tersebut berperan penting dalam melahirkan akibat. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan hakim dalam kasus Robert di mana seorang gadis diserang di dalam mobil dan terluka karena melompat dari atas mobil yang sedang melaju kencang,

“...was it the natural result of what the alleged assailant said an did, in the sense that it was something that could reasonably have been foreseen as a consequence of what he wa saying or doing? As it was put in the old case, it has got to be shown to be his act, and if of course the victim does something so “daft”, in the word of the appellant in the case, or so unexpected, not that this particular assailant did not actually foresee it but that no reasonable man could be expected to foresee it, that it is only in a very remote and unreal sense a consequence of assault, it is really occasiones by a voluntary act on the part of the victim which could not reasonably be foreseen and which breaks the chain of causation between the assault and te harm or injury”

Justifikasi atas pandangan ini ditemukan juga dalam hukum Queensland, Australia Barat dan Tazmania. Dikatakan dalam hukum Quennsland dan Australia Barat, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas yang terjadi apabila suatu peristiwa terjadi karena kebetulan (accident). Peraturan serupa ditemukan juga dalam hukum Tazmania yang menegaskan bahwa kejadian yang terjadi secara kebetulan (chance) tidak menyebabkan seseorang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Dengan demikian, hukum hanya mempertimbangkan kejadian yang lazim dalam suatu peristiwa dan mengabaikan hal-hal yang terjadi secara kebetulan yang tidak terduga oleh akal sehat.

Selain dalam bidang hukum secara umum, teori peramalan subyektif mempunyai tempat yang istimewa dalam bidang hukum ekonomi karena mengedepankan probabilitas untuk mencegah kerugian ekonomis. Kendati demikian, analisis ekonomis yang mempengaruhi paradigma teori peramalan subyektif digunakan secara luas dalam kausalitas di luar bidang hukum ekonomi. Dalam konteks ini, Shavell menghubungkan terjadinya akibat dengan tingkat kehati-hatian yang ditentukan berdasarkan “...the cost of taking care and the degree to which lack of care is a cause of expected loosses”. Dengan demikian, akibat dapat diduga sebelum peristiwa terjadi dengan melihat tingkat kejati-hatian yang berpotensi menimbulkan akibat. Karena bersifat ante factum, maka akibat berupa kerugian tidak harus bersifat konkrit (sudah terjadi) dan dapat dipastikan jumlah kerugiannya melainkan cukup apabila kerugian tersebut diperkirakan akan terjadi di kemudian hari. Karenanya, kemampuan pelaku untuk melakukan tindakan pencegahan menjadi tolak ukur terjadinya akibat. Pelaku yang mampu melakukan tindakan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas yang terjadi. Sebaliknya, pertanggungjawaban atas pelaku berlaku jikalau tindakan pencegahan gagal dilakukan.

Sedangkan kelayakan suatu tindakan disebut sebagai tindakan pencegahan yang memenuhi syarat kehati-hatian dilihat dari proposionalitas antara upaya kehati-hatian dan manfaat kehati-hatian. Dengan kata lain, upaya kehati-hatian harus sebanding dengan manfaat kehati-hatian yang ingin dicapai. Seorang penjaga pintu air, misalnya, mengetahui akibat banjir yang ditimbulkan oleh hujan lebat apabila ia tidak menutup semua pintu air. Namun ia hanya menutup sebagian pintu air yang mengakibatkan banjir di pemukiman warga. Tindakan penutupan sebagian pintu air tersebut bukan tindakan pencegahan yang memenuhi prinsip kehati-hatian kendati penjaga tersebut telah melakukan tindakan.


3. Teori Peramalan Obyektif (Objective Prognose)
Berbeda dengan teori peramalan subyektif yang menggunakan dugaan akal sehat dan probabilitas dalam menentukan hubungan kausalitas, teori peramalan obyektif yang juga dikenal dengan dengan kausalitas retrospektif mendasarkan adanya hubungan kusalitas kepada bukti-bukti konkrit yang disimpulkan setelah terjadinya akibat (post factum). Konklusi post factum ini erat kaitannya dengan prinsip thin skull yang lahir dari kasus selop yang menunjukan syarat penentu (sebab) yang adequat dengan akibat.

Teori ini mengabaikan dugaan subyektif meskipun dugaan tersebut didasarkan kepada kelaziman peristiwa yang terjadi sehari-hari. Menurut teori ini, sebuah syarat dapat disimpulkan sebagai akibat manakala peristiwa yang mengandung kausalitas telah terjadi dan secara konkrit terdapat sebab yang adequat dengan akibat. Karenanya, sebab tak terduga yang adequet dengan akibat menjadi faktor determinan terjadinya kausalitas termasuk peristiwa yang terjadi secara kebetulan (chance/accident)

Prinsip thin skull merupakan alternatif yang mengecualikan prinsip umum pertanggungjawaban kausalitas. Pertanggungjawaban tersebut tidak lagi disandarkan kepada peristiwa yang lazim terjadi melainkan didasarkan kepada fakta-fakta konkrit yang disimpulkan setelah peritiwa terjadi.

Moeljatno menambahkan bahwa pembuktian yang digunakan dalam peramalan obyektif harus dihasilkan penelitian ilmiah yang obyektif seperti visum et repertum. Dalam kasus selop, misalnya, harus lebih dulu dibuktikan melalui visum et repertum bahwa tulang kepala korban sangat tipis sehingga rentan benturan dari benda apapun. Visum tersebut membuktikan bahwa benturan yang lembut itu dapat menimbulkan pendarahan di otak yang mengakibatkan kematian. Karena itu, pembuktiannya tidak dapat menggunakan keterangan saksi semata ataupun keterangan ahli yang menganalisis peristiwa yang lazim terjadi berdasarkan pengetahuan dan perspektif ahli.

4. Pandangan Wright
NESS (Necessary Element in Sufficient Sets) merupakan improvisasi dari teori Hart dan Honore tentang kausalitas. Menurut Wright, suatu perbuatan X atau omisi yang dapat menimbulkan akibat tertentu, maka perbuatan tersebut harus memenuhi NESS bagi terjadinya akibat. Suatu perbuatan dikatakan sebagai atau bukan sebagai NESS hanyalah persoalan faktual yang terlepas dari masalah normatif. Wright mendefinisikan NESS dengan “... a particular condition was a cause of (contributed to) a specific result if and only if it was necessary element of a set of antecedent actual conditions that was sufficient for the occurence of the result”. Pengertian ini memperlihatkan bahwa ajaran NESS memperhitungkan setiap syarat yang sufficient guna menentukan syarat yang bersifat necessary (sebab). Dengan adanya sebab dalam rangkaian syarat (sufficient sets), maka syarat-syarat yang tidak relevan dengan kausalitas diabaikan. Sebab (necessary) ini pula yang menentukan irrelevansi syarat dengan kausalitas. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah A yang menusuk B tepat di jantungnya yang menyebabkan kematian dianggap sebagai sebab (necessary element) yang adekuat dengan akibat (kematian), di mana sebab tersebut ada bersama dengan syarat lainnya seperti keadaan korban yang masih hidup, ketiadaan rumah sakit di sekitar kejadian yang memungkinkan dilakukannya transfusi darah yang dapat mencegah kematian dan tusukan pisau tepat di jantung korban. Ketiga hal tersebut dikualifikasi sebagai syarat (sufficient sets), namun hanya tusukan tepat di jantung korban yang dinilai sebagai sebab (necessary element) yang secara langsung menyebabkan kematian. Dengan adanya tusukan tersebut, maka syarat lainnya menjadi irrelevan dengan akibat. Contoh ini juga memperlihatkan bahwa sebab adalah specius genus dari syarat karena penusukan tepat di jantung korban merupakan syarat sekaligus sebab. Sebaliknya tidak semua syarat adalah sebab.

Substansi teori ini terletak dalam dengan definisi necessary dan sufficient yang tidak cukup hanya diartikan secara literal. Marten Schultz mengartikan necessary sebagai “....a condition which, when it is in hand, brings about an effect of some sort, and where the effect would not have happened had it not been for that condition”. Sedangkan sufficient diartikan dengan “...a condition which brings about the effect (the event) under other given conditions, but where such an effect did not necessarily depend on the condition at hand but could also have followed from other factors”.

Dalam rangka menentukan konsep sufficient dan necessary dalam NESS, Richard Fumerton dan Ken Kress yang secara khusus meneliti tentang teori ini mengklasifikasi konsep sufficient dan necessary menjadi lima bagian, yaitu dari segi formal, analistis, sintetis, dari segi hukum dan kausalitas aktual.

Pertama, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara formal menimbulkan akibat. Kedua, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara analitis menimbulkan akibat. Ketiga, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara sintetis menimbulkan akibat. Keempat, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara analitis menimbulkan akibat.
* dari berbagai sumber

1 komentar:

{ Milagros Export } at: 12 Februari 2022 pukul 02.27 mengatakan...

saya ingin berbagi kesaksian tentang bagaimana tawaran pinjaman mr pedro membantu hidup saya, bukan ide yang baik untuk menggunakan pinjaman gajian secara teratur. Jika Anda terus-menerus memperpanjang tanggal pembayaran Anda dan sering meminjam ke gaji Anda berikutnya, itu bisa memberi Anda banyak uang. namun, sama masuk akalnya untuk memutuskan pinjaman hari gajian karena mereka dapat dengan cepat disetujui pada hari yang sama ketika Anda memasukkan formulir aplikasi pinjaman Anda. Anda dapat menghubungi penawaran pinjaman mr pedro karena pinjaman gaji saya sangat cepat untuk diproses, email pedroloanss@gmail.com untuk meminta segala jenis pinjaman. whatsapp +18632310632

Posting Komentar

 

Mengenai Saya

Foto saya
jakarta, jakarta, Indonesia
UNIAT Jakarta

Pengikut

About Us

© 2010 Hukum Pidana - kuliah fakultas hukum Design by Dzignine
In Collaboration with Edde SandsPingLebanese Girls