Membantu melakukan tindak pidana (medeplihctig heid)

Minggu, 15 Mei 2011
0 komentar

Membantu melakukan tindak pidana
(medeplihctig heid)


Pasa; 56
(1)   ereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
(2)   mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana dan keterangan untuk melakukan kejahatan

  1. pembagian

dari segi waktu pemberian bantuan maka pembantu/membantu melakukan tindak pidana dibagi 2 yaitu:
  1. membantu/membarikan bantuan pada saat kejahatan sedang dilakukan
  2. membantu/membarikan bantuan sebelum kejahatan di lakukan

  1. perbedaan

  1. pada jenis pembantuan yang 1, bantuan diberikan pada waktu kejahatan sedang dilakukan.
  2. pada jenis pembantuan yang 1, bentuk bantuan yang diberikan tidak ditetapkan/bebas. Berarti bentuk bantuan apapun yang diberikan oleh orang yang membantu bagiyang melakukan tindak pidana, dihukum. Sedang pada jenis pembantuan yang ke 2, bantuan yang diberikan telah ditetapkan secara limitative/terbatas. Berupa, kesempatan, sarana, dan keterangan. Jadi, diluar 3 bentuk bantuantersebut bukanlah diangagp sebagai pembantuan. Demikian pula, ketiga bentuk bantuantersebut harus diberikan sebelum kejahatan dilakukan.

  1. system pertanggungan jawab

pasal 57 (4) mengatur bentuk pertanggungan jawab bagi orang yang membantu melakukan suatu kejahatan.
Meskipun dalam kenyataanya pembantuan itu ada 2 jenis, yakni membantu pada waktu dan sebelum dilakukanya kejahatan. Namun dalam system pertanggungan jawab pembedaan tersebut tidak berlaku. Dengan kata lain, membantu baik pada waktu maupun sebelum nya system pertanggungan nawabnya sama.

Dari pasal 57 (4) dapat diketahui bahwa bentuk penghukuman bagi pelaku pembantuan terbagi 2 yakni :
  1. terbatas
  2. diperluas

terbatas artinya tanggung jawab pembantu hanya terbatas pada apa yang ia bantu
diperluas artinya tanggung jawab pembantuan diperluas pula terhadap perbuatan atau akibat yang berlebihan  dari apa yang ia bantu. Atau dengan kata laion pembantu dipertanggung jawabkkan pula terhadap perbuatan atau akibat tersebut memang bias timbul dari apa yang ia bantu.
Tegasnya, tanggung jawab pembantu hanya dibatasi pada apa yang dibantunya. Sedanglkan bila mana terjadi peristiwa yang melebihi dari sekedar apa yang dibantunya, maka tindak pidana tesebut bukan tanggung jawabnya, kecuali secara logis tindak pidana yang berlebihan tersebut memang dapat timbul dari apa yang ia bantu.

  1. Sanksi ? Hukuman

Hukuman bagi pembantu berdasarkan pasal 57 (1) dikurangi 1/3 dari hukuman pokok kejahatan yang dibantunya. Jadi yang di jalainya hanya 2/3 hukuman pokok kejahatan yang dibantunya

Mengapa harus dikurangi 1/3 ?
Oleh karena [erbuatan yagn ditunjukkan/ sekadar memperlancar terjadinya kejahatan atau dengan kata lain, tujuuan pembantu hanyalah sekedar memperlancar si pelaku melakukan kejahatanya. Bahkan, acapkali motivasi si pembantu llain bukan pada kejahatan tersebut.
Pasal 57 (2) bila perbuatanya hukumanya diancam dengan hukuman seumur hidup atau hukuman mati, maka pembantu hanya dikenakan 15 tahun

Pasal 57 (3) hukuman tambahan bagi si pembantu adalah hukuman penuh dari ancaman kejahatan yang dibantunya.

Hukuman tambahan terjadi kaena misalnya residivis samenloop

  1. pelanggaran

membantu melakukan pelanggaran tidak dihukum. Oleh krena kepentingan hokum yang dilangarnya masih kecil.

  1. permasalahan dalam persamaan

bila diamati, terdapat persamaan antara pembantuan jenis 1 (membantu pada waktu kejahatan di lakukan) dengan ikut serta/ medeplegen, yakni:
pada medeplegen ( sesuai ayat 2) semua orang yang ikut serta terlibat langsung secara fisik keadaan demikian sama juga dengan pembantuan jenis 1, yakni orang yang membantu secara fisik terlibat langsung.

Untuk menemukan perbedaan- perbedaan yang dimaksud terdaopat sejumlah pendapat/teori

  1. teory subyektif

teori yang berdasarkan kepada niat/maksud/kehendak ini, menegaskan bahwa pada medeplegen ; niat orangyang ikut serta sama dengan niat oirang yang melakukan. Pada pembantunya niat orang yang membantu hanya terbatas mempermudah /lancer perbuatan orang yang melakukan atau orang yang dibantu

tegasnya

jika niat orang yang ikut serta tersebut sama dengan niat orang yang melakukan, maka itulah mede plegen. Sedangkan niat orang yang ikut tersebut, hanya sekedar mempermudah terjadinya kejahatan  maka itulah pembantuan

  1. theory obyektif

teori yang didasarkan kepada sifat perbuatan ini, menegaskan : jika seseorang ikut serta tersebut melakukan perbuatan yang sifatnya dilarang uu maka perbuatan orang tersebut adalah ikutserta/medeplegen. Namun bila perbuatan orang tersebut bukanlah perrbuatan yang dilarang dalam uu maka orang tersebut adalah membantu.

  1. teori gabungan

merupakan gabungan antra teori subyektif dan teory obyektif. Teori ini muncul karena menurut pencetusnya teori subyektif dan teori obyektif terlalu sempit dan sepihak.

Sesuai dengan pembagian tindak pidana yakni tindak pidana formil dan tindak pidana materiil, maka menurut teori ini bagi tindak pidana formil(perbuatan yang dilarang) digunakan teori obyktif. Sedangkan bagi pidana materiil(akibat  yang dilarang) digunaka teori subyktif.

  1. dalam praktek/peradilan

dalam praktek,  untuk membedakan antara ikutserta dan membantu, dilihat bilamana dalam kebersamaan melakukan kejahatan tersebut telahmemenuhi syarat ikut serta, maka hal tersebut adalah medeplegen. Bila tidak memenuhi syarat maka pembantuan.demikian pula terjadi persamaan antara uitloking dan pembantuan jenis ke dua. Adapun yang dimaksud yaitu mengenai :
  1. pada penggerakan, kehendak melakukan tindak pidana timbul setelah diberikan, upaya:  sarana, kesempatan, dan keterangan. Sedangkan, pada pembantuan kehendak melakukan tindak pidana telah ada jauh sebelum diberikanya bantuan berupa: sarana, kesempatan, dan keterangan
  2. si penggerak, berkehendak atas akibat tindak pidana yang digerakkan; sedangkan pembantu tidak sampai disitu kehendaknya, tetapi hanya sekedar/ sampai pada memperlancar saja. Sebab kalau sudah sama kehendaknya berrarti medeplegen
Baca selengkapnya »

Locus dan tempus delicti (tempat dan waktu terjadinya tindak pidana)

Sabtu, 14 Mei 2011
4 komentar

Locus dan tempus delicti
(tempat dan waktu terjadinya tindak pidana)


Locus delicti

Manfaat diketahuinya locus delicti adalah
  1. untuk mengetahui berwewenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili suatu perkara(kompetensi relative)
  2. untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hokum pidana diberlakukan terhadap suatu perkara.
  3. sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan

ajaran locus delicti

ada empat ajaran untuk menentukan tempat terjadinya peristiwa pidana atau locus delicti atau tempat kejadian perkara (tkp)

  1. de leer van de lichamelijke daad

ajaran yang didasarkan kepada perbuatan secara fisik. Itulah sebabnya ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana/locus delicti, adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.

  1. de leer van het instrument

ajaran yang didsarkan kepada berfungsinya suatu alat yang digunakan dalam perbuatan pidana. Jadi ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai temapt terjadinya tindak pidana adalah temapt dimana alat yang digunakan dalam melakukaan tindak pidana bereaksi.

  1. de leer van het gevolg

ajaran ini didasarkan kepada akibat dari suatu tindak pidana. Menurut ajaran ini bahwa yang dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.

  1. de leer van de meervoudige pleets

menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu tempat2 dimana perbuatan tersebut secara fisik terjadi tempat dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.

Contoh kasus

Kasus 1
Terjadi perkelahian antara A dan B di terminal rawamangun. B terkapar karena luka2 ditikam A. oleh keluarganya, B dilarikan ke rumah sakit persahabatan. Karena terlalu parah akhirnya pihak rumah sakit mengirim B ke rumah sakit ci[to. Kurang lebih 2 jam dirawat B meninggal. Karena luka yang dideritanya.

Pertanyaan yang timbul atas kejadian ini, pengadilan mana yang berwewenang mengadilinya?

Jawab
  1. Menurut ajaran de leer vn delichamelijke daad, bahwa secara fisik perbuatan atau tindak pidana ( perkelahian antara A dan B ) terjadi dan berlangsung di terminal rawamangun. Oleh karena itu yang berwewenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta timur.( karena rawamangun berada di wilayah Jakarta timur).
  2. menurut ajaran de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan A (benda tajam) dalam perkelahianya dengan B bereaksi/berfungsi/ bekerja di tempat perkelahian (tempat bus rawamangun) dengan demikian maka yang berwewenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta timur
  3. menurut ajaran de leer van het gevolg, bahwa akibat dari perkelahian tersebut adalah tewasnya B di rscm. Dengan demikian pengadilan yang berwewenang mengadili kasus ini adalah pengadilan negeri Jakarta pusat. Karena timbulnya akibat matinya B terjadi di rscm yang letaknya di wilayah Jakarta pusat.
  4. sedangkan menurut ajaran de leer van de meervoudige plaats, bahwa karena secara fisik tindak pidana tersebut terjadi di terminal rawamangun demikian pula alat yang digunakan dalam perkelahian tersebut bekerja / berfungsi di tempat perkelahian (terminal bus rawamangun) maka atas dasar itu pengailan negeri Jakarta timur yang berwewenang mengadilinya. Atau dapat juga kasus oini diadili di pengadilan Jakarta pusat, karena akibat yang timbul yakni matinya B terjadi di rscm Jakarta pusat.


Kasus 2

T berniat membunuh s warga Negara jepang. Untuk melaksanakan niatnya,secara diam diam T menaroh bom di kapal terbang yang akan ditumpang Sdari bandara sukarno hatta menuju bandara narita jepang.. persis pesawat tersebut berada di wilayah udara singpura bom yang dipasang T meledak. Hanya sebagian kecil penumpang pesawat termasuk S yagn masih hidup.meskipun dalam kondisi kritis. Oleh keluarganya S dibawa ke Tokyo jepang. Akan tetapi baru saja mobil ambulance yang membawa S dari bandara narita tiba di pintu gerbang rumah sakit di Tokyo S menghembuskan nafas terakhirnya.

Pertanyaanya, hokum pidana manakah yang dapat diberlakukandan pengadilan mana yang berwewenang mengadili perkara ini?

Jawab
  1. menurut ajaran deleer van delichamelijke daad bahwa perbuatan secara fisik yakni menaroh bom dilakukan oleh T di pesawat yang sedang parker di bandara sukarno hatta. Dimana pesawat tersebutlah yang akan digunakan S ke jepang. Dengan demikian, maka hokum pidana yang diberlakukan untuk mengadili perkara ini adalah hokum pidana Indonesia. Demikian pula pengadilan yang berwewenang mengadili perkara ini. Adalah pengadilan negeri tanggerang. Hal tersebut karena bandara sukarno hatta berada di wilayah tanggerang.
  2. menurut ajaran de leer van het instrument, bahwa alat yang digunakan T untuk memmembunuh S adalah bom , dan bom tersebut meledak/ bereaksi/bekerja ketika pesawat sedang berada di wilayah udara singapura . itu berarti hokum pidana singapura dapat di berlakukan untuk mengadili kasus ini. Dan sudah tentu pengadilan singapura juga berwewenang menyidangkan perkara ini.
  3.  menurut ajaran de leer van het gevolg bahwa akibat dari perbuatan T terhadap S adalah meninggalnya di Tokyo sehingga demikian hokum pidana jepang dapat dipakai untuk mengadili perkara ini dan sekaligus pengadian di Tokyo dapat menyidangkan kasus ini.
  4. sedangkan menurut ajaran de leer van de meer voudige plaats, bahwa hokum pidana dan pengadilan :

  1. Indonesia atas dasar perbuatan T secara fisik dilakukan di bandara sukarno hatta atau
  2. Jepang atas dasar akibat yang terjadi yaitu matinya S di jepang atau
  3. Singapura atas dasar bom bereaksi meledak di wilayah udara ingapura.


Ajaran tempus delicti

Manfaat diketahuinya tempus delicti
  1. usia pelaku (pasal 47KUHP) dan usia korban untuk delik susila(pasal 287 ayat 2 dan pasal 290 dan 291)
  2. keadaan jiwa pelaku ( pasal 44 KUHP)
  3. daluarsa dalam penuntutan dan menjalani pidana ( pasal 78-85 KUHP)
  4. asas legalitas pasal 1 ayat  1 KUHP)
  5. perubahan suatu undang-undang pidanapasal 1 ayat 2 KUHP)
  6. sebagai syarat mutl;aksahnya surat dakwaan.

Contoh kasus
Seperti biasanya setiap kali merayakan ultahnya A mengundang seluruh sanak familinya ke Jakarta, termasuk B ( pamanya) yang tinggal di Surabaya. Perayaan ultah A yang ke 18 bini diselenggarakan tanggal 5 januari sesuai tanggal kelahiranya. Tanggal 3 januari B beserta anak istrinya tiba di Jakarta dari Surabaya. Namun di luar dugaan pada malam tanggal 4 januari terjadi pertengkaran sengit antara A dan B yang berpangkal pada pembagian ahli waris, sehingga kepala B berdarah terkena lemparan asbak rokok yang dilakukan oleh A. oleh karena keadaan sudah runyam maka malam itu juga B dengan kepala yang masih berdarah membawa anak istriya langsung pulang ke Surabaya. Sementara pesta ultah di malam itu tetap dilanjutkan. Esok harinya tanggal 5 januari, kereta api yang ditumpang B tiba di Surabaya. Dan langsung berobat ke rumah sakit. Dan oleh dokter yang memeriksanya memerintahkan untuk di rawat. 3 hari terbaring di rumah sakit yakni tanggal 9 januari, B menghenbuskan nafas terakhirnya.laporan medis yang sikeluarkan oleh dokter yang merawatnya menunjukkan, bahawa B meninggal karena terjadi keretakan di tengkorak bagian kiri depan akibat benturan benda keras.

Pertanyaanya : dapatkah A di hokum atas perbuatanya terhadap B?

Jawaban
  1. menurut ajaran de leer van delichamelijke daad, bahwa perbuatan / pertengkaran secara fisik yakni pelemparan asbak rokok ke kepala B hingga luka dan berdarah dan menyebabkan B mati, dilakukan (terjadi) di tangal 4 januari. Dimana tanggal tersebut, A masih berusia 17 tahun( dibawah 18 tahun) vide UU no.3/1997. oleh karena itu berdasarkan ajaran ini hakim dapat memutuskan  1 diantara 3 kemungkinan yaitu:
  1. mengembalikan A kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina atau
  2. diserahkan kepada pemerintah (tanpa dipidana) dan memasukkan ke rumah pendidikan negara guna dididik hingga perilakunya berubah dan sanpai usia 18 tahun
  3. menjatuhkan pidana orang dewasa tetapi dikurang 1/3.

  1. menurut ajaran de leer van het instrument bhawa bekerjanya/ bereaksinya asbak rokok sebagai alat yang melukai kepala B da;am pertengkaranya dengan A , terjadi tanggal 4 januari dimana tanggal tersebut A masih berusia 17b tahun(=dibawah 18 tahun) . dengan demikian terhadap A majelis hakim dapa menjatuhkan salah satu diantara 3 kemungkinan seperti pada ajaran no.1 diatas
  2. menurut ajaran de leer van het gevolg, bahwa akibat dari pertengkaran tersebut B meninggal tanggal 9 januari. Dimana pada tanggal ersebut A sudah berusia 18 tahun dengan demikian A sudah dapat dijatuhi hukuman orang dewasa
  3. menurut ajaran de leer van de meer voudige tijds, bahwa semua waktu yang berkaitan dengan peristiwa matinya B yaitu

  1. tanggal 4 januari, pertengkaran/pelemparan asbak ke kepala B
  2. tanggal 4 januari bekerjanya asbak( melukai) sebagai alat yang digunakan
  3. tanggal 9 januari matinya B sebagai akibat perbuatan A di tanggal 4 januari.
Semua ini merupakan waktu-waktu terjadinya peristiwa pidana terhadap diri B oleh karena itu ada 2 kemungkinan keputusan hakim yakni:
  1. membebaskan A karena dianggap belum berumur 18 tahun
  2. meghukum A dengan sanksi hokum yang sebenarnya(sanksi orang dewasa)



*sumber kuliah Bpk Hamdan SH. MH


Baca selengkapnya »

Arti, kedudukan dan fungsi hukum pidana

Jumat, 13 Mei 2011
3 komentar
Hukum pidana

Arti, kedudukan dan fungsi hukum pidana

Arti

Tidak ada definisi yang standar mengenai hukum pidana

Pendapat ahli

Prof. simon , hukum pidana adalah semua tindakan keharusan dan larangan yang dibuat oleh Negara atau penguasa yang kepada pelanggarnya diancam dengan derita khusus yakni pidana.

Wiryono projo dikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana

Mulyatno, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk
  • Menentukan perbuatan2 yang dilarang yang bila dilanggar dikenakan sanksi pidana
  • Menentukan siapa2 yang dapat dihukum
  • Menentukan cara pengenaan pidana bagi si pelanggar

Kedudukan

Pada hakekatnya hukum pidana sama kedudukanya dengan hukum lainya seperti hukum perdata hukum administrasi Negara, dll. Namun dalam hal tertentu ada perbedaan khas yang tidak dimiliki hukum lainya yaitu hukum pidana memberikan sanksi hokum yang berupa penderitaan yang bersifat khususyang tidak dimiliki bidang hukum lain.yaitu yang disebut dengan “perampasan kebebasan”(pidana penjara), perampasan nyawa(pidana mati),

Fungsi

Untuk mengetahui fungsi hukum pidana kita lihat adanya sanksi hukum lain misal
  • Hukum administrasi Negara sanksi berupa penundaan naik pangkat, penurunan pangkat, dan pecat bagi yang melanggar
  • Hukum perdata menerapkan sanksi berupa ganti rugi dan penyitaan

Seharusnya dengan adanya sanksi tersebut tidak terjadi lagi yang namanya pelanggaran hukum, namanya pelanggaran terhadap hukum. Namun pelanggaran tetap berlagsung, atas dasar itu diperlukan suatu sanksi khusus untuk tidak terulang lagi pelanggaran yang telah dilakukan. Sanksi yang dimaksud adalah sanksi pidana. Oleh karena itu hokum pidana disebut sebagai “ultimatum remidium”. Artinya upaya terakhir memperbaiki kelakuan manusia. Atau istilah wiryono projodikoro adalah “senjata pamungkas”. Dikatakan terakhir karena apabila hokum lain tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah di bidangnya maka hokum pidanalah yang terakhir menyelesaikanya.


Hubungan ilmu hokum pidana dan ilmu lainya

Tujuan hokum pidana yaitu untuk menegakkan hokum dan keadilan bagi setiap pelaku tindak pidana.

Kriminologi

Agar hokum yang dijatuhkan benar2 mencerminkan suatu keadilan maka perlu diketahui secara cermat mengapa pelaku melakukan tindak pidana . untuk kepentingan tersebut maka diperlukan informasi yang lengkap tentang hal tersebut. Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari sebab masalah terjadinya kejahatan sangat besar peranya dalam menganbil putusan hakim.

Psikiatri

Adalah ilmu yang mempelajari kesehatan jiwa. Ilmu ini akan mempelajari kesehatan pelaku baik sebelum, saat, maupun setelah melakukan kejahatan

Forensic

Untuk mengetahui apakah suatu tindk benar2 mempunyai kaitan langsung atau tidak langsung dengan perbuatan manusia. Dapat dilihat dari tanda2 yang terdapat pada tubuh korban. Forensic sebagai ilmu yang mengkhususkan diri dalam hal-hal tersebut, dapat dimintakan bantuanya.

Penitentier

Untuk kepentingan penghukuman maka penitertier ilmu yang mempelajari pola penghukuman dapat dimintakan bantuanya.

Jenis-jenis hokum pidana.

Hokum pidana obyektif yaitu berisi semua larangan dan keharusan yang pelanggaranya dikenakan pidana serta mengatur tata cara pengenaan pidananya.

Hokum pidana subyektif

Adaalh hak Negara / hakim untuk menjatuhkan pidana setiap pelanggara larangan ataupun keharusan(norma pidana) tersebut

Hokum pidana material

Yaitu aturanhukum yang menggatur :perbuatan  apa saja yang dilarang /diharuskan ,siapa saja yang dapat dihukum, hukuman apa saja yang akan dijatuhkan

Hokum pidana formal

Yaitu ketentuan hokum yang mengatur tatacara penerapan hukun [pidana nasional kepada si pelanggar normapidana.

Hokum pisana utama

Yaitu hokum pidana yang berklaku untuk semua orang diseluruh wilayah suatu Negara tanpa kecuali termasuk warga Negara asing

Hokum pidana khusus

Yaitu hokum pidana yang berlakukhusus bagi pihak tertentu atau pidana bidang tertentu



*sumber : kuliah Bp. hamdan SH.MS

Baca selengkapnya »

Ajaran sebab akibat ( causaliteit leer)

Senin, 25 April 2011
1 komentar

Apa itu ?

Ajaran kausalitas mempunyai sejarah panjang dalam dunia hukum. Meski sebelumnya ajaran kausalitas lebih populer dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan filsafat, kepopuleran kausalitas merentang dalam lintas disiplin ilmu terutama ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Berbeda dengan ilmu alam yang melihat kausalitas secara umum, hukum melihat hubungan kausalitas dari segi partikularistik. Hukum berkonsentrasi kepada apakah A mengakibatkan terjadinya kebakaran terhadap B, dan bukan apakah A mengakibatkan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hukum perdata, ajaran kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggungjawaban atas kejahatan yang mengandung ketidakpastian kausal (causal uncertainty).Kisah Erin Brockovich dapat dijadikan contoh, sebuah perusahaan minyak yang menjalankan produksinya di sekitar pemukiman masyarakat yang berangsur-angsur meninggalkan kediamannya dengan kompensasi. Beberapa tahun kemudian, masyarakat mengidap pelbagai macam penyakit yang menyebabkan meninggal dunia. Setelah diselidiki, ternyata penyebab penyakit adalah polusi dari perusahaan tersebut yang tidak melaksanakan standar baku yang ditetapkan.

Ketidakpastian kausal tesebut terjadi lantaran akibat yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut tidak serta merta nampak setelah perbuatan dilakukan tetapi akibatnya baru dapat diidentifikasi beberapa waktu lamanya. Dalam konteks ini, terdapat justifikasi ekonomi untuk membatasi pertanggungjawaban pelaku atas kerusakan yang timbul.Penentuan pertanggungjawaban hukum (perdata) didasarkan kepada pembagian probabilitas yang dinilai berpotensi menyebabkan akibat.

Sedangkan kausal yang pasti (certain causal) lebih mudah diidentifikasi karena akibatnya muncul setelah perbuatan dilakukan. Bentuk sederhana ini mengikuti kausalitas ilmu pengetahuan alam yang digambarkan A menyebabkan B; terjadinya A menyebabkan terjadinya B.

Uraian di atas merupakan sebagian dari doktrin hubungan kausalitas yang telah berlaku lama dalam hukum perdata (tort law). Doktrin tersebut diadaptasi dalam hukum pidana yang menggunakan ajaran kausalitas dalam menentukan keterkaitan antara perbuatan dan akibat.

Sebelum hukum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa melukai sebagai satu-satunya sebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai orang dapat mengakibatkan kematian tetapi harus dilihat dahulu apakah luka tersebut menurut sifatnya dapat mengakibatkan matinya orang.

Dalam pandangan common law yang mayoritas menganut monistis, ajaran kausalitas berjalin kelindan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana. Kendati literatur common law mengakui ajaran kausalitas terdiri dari perbuatan, akibat dan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), pembahasan kausalitas lebih cenderung menitikberatkan pertanggungjawaban pidana secara tidak seimbang dengan perbuatan dan akibatnya. Ketidakseimbangan ini terjadi lantaran atribusi pertanggungjawaban dalam kerangka kausalitas lebih sulit dibandingkan tentang perbuatan. Eric Colvin menjelaskan perlunya deferensiasi awal antara hubungan kausal dan pertanggungjawaban kausal. Menurutnya, langkah pertama adalah mencari hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat. Langkah kedua adalah melakukan atribusi pertanggungjawaban pidana kepada pelaku.

Sistematika dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana menolak penggabungan kausalitas dengan pertanggungjawaban pidana lantaran keduanya berada dalam lingkup yang berbeda. Kausalitas merupakan bagian dari bentuk perbuatan dan akibatnya sehingga lingkupnya masuk dalam perbuatan pidana. Sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan dapat dipidananya orang. Karenanya, keduanya harus dianggap terpisah meskipun langkah kedua yang harus dilakukan untuk menjatuhkan pidana, setelah terbukti (kausalitas) perbuatan, adalah apakah perbuatan dan akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku.


A. TEORI KAUSALITAS

1. Teori Conditio Sine Qua Non; But-For Test
Von Buri mengawali diskursus tentang ajaran kausalitas dengan teorinya conditio sine qua non yang secara literal berarti syarat mana tidak (syarat mutlak). Teori ini tidak membedakan antara syarat dan sebab yang menjadi inti dari lahirnya berbagai macam teori dalam kausalitas. Menurut Buri, rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat harus dipandang sama dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat. Rangkaian syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Karena kesetaraan kedudukan setiap sebab, teori ini dinamakan juga dengan teori ekuivalen. Dengan demikian, setiap sebab adalah syarat dan setiap syarat adalah sebab.

Jika kita menerapkannya terhadap kasus selop, maka pendapat von Buri memiliki lingkup terlalu luas dalam mengidentifikasi sebab. Menurutnya, sebab tidak hanya tertuju kepada keadaan ataupun kejadian terdekat dengan terjadinya akibat seperti, adanya tulang kepala korban yang tipis ataupun pemukulan dengan sandal tebal, melainkan juga melibatkan rentetan kejadian yang terjadi sebelumnya termasuk penjual atau pembuat sandal.

Sebagai ilustrasi, A berniat membunuh B dengan menembakkan peluru di bagian dada. Ternyata tembakan tersebut tidak membunuh B, namun A melarikan diri karena panik. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, B berjumpa dengan C yang juga menaruh dendam kepada B. C memukul B hingga terjatuh ke dalam selokan yang berisi air kotor. C meninggalkan B. Kemudian B berhasil sampai di Rumah Sakit dan ditangani oleh dokter D. Karena kurang cermat, D memberikan obat padahal masih terdapat sisa amunisi dalam lukanya setelah dibersihkan sehingga memperburuk keadaan B. Setelah beberapa lama kemudian, B meninggal dunia.

Dalam perspektif conditio sine qua non yang tidak membedakan antara syarat dan sebab, perbuatan penembakan, pemukulan, salah diagnosa dan kurang cermat dalam membersihkan luka korban merupakan serangkaian sebab yang menimbulkan akibat secara bersamaan. Hilangnya salah satu sebab dari rangkaian tersebut menyebabkan akibat tidak terjadi. Teori ini tidak melakukan pemilihan atas sebab yang dinilai paling berpengaruh terjadinya akibat. Konsekuensinya, bukan hanya A, C dan D yang adekuat dengan akibat melainkan juga meliputi (pembuat) peluru dan senapan karena kedua alat tersebut turut mengakibatkan matinya korban.

Rangkaian tak terputus dalam teori conditio sine qua non menjadi satu kelemahan tersendiri. Salah satu pembela teori ini, van Hamel, menyarankan agar penggunaan teori conditio sine qua non disertai dengan ajaran tentang kesalahan untuk melekatkan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang dipandang paling potensial dalam menimbulkan akibat.

Teori conditio sine qua non disamakan dengan but-for test dalam literatur hukum anglo America. Lebih khusus lagi, pandangan van Hamel serupa dengan pandangan yang dikemukakan oleh Hart dan Honoré yang menggabungkan but-for cause dengan proximate cause dalam menentukan hubungan kausalitas. Menurutnya, pendekatan dua sisi, but-for cause dan proximate cause, sangat berguna untuk menjaring fakta-fakta yang berperan dalam terjadinya akibat yang dilanjutkan dengan pembatasan tanggung jawab.

Lebih lanjut, Hart dan Honoré menjelaskan bahwa kebanyakan ahli hukum mendasarkan pengertian sebab-akibat pada pengertian sehari-hari. Kerap kali masyarakat memandang sesuatu yang mengubah hal tertentu dari status quo sebagai bagian dari hubungan kausalitas. Dalam konteks ini, Hart dan Honoré menganggap teori but-for sebagai cara yang sederhana dalam menentukan hubungan kausalitas antara pelaku dan kejahatan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kejahatan tersebut dalam keadaan tertentu dapat terjadi tanpa adanya pelaku (agency). Jika kejahatan terjadi, maka barang kali pelaku bisa menjadi salah satu sebab atau bukan merupakan sebab dari kejahatan-kejahatan tersebut. Namun sebaliknya, apabila kejahatan tidak terjadi tanpa adanya pelaku, maka pelaku dipastikan menjadi syarat yang relevan secara kausal dengan terjadinya akibat atau dalam bahasa minimalisme kausal disebut cause-in-fact dari kejadian tersebut.

Honoré sendiri menyadari bahwa cakupan teori but-for yang luas menyulitkan pemilihan syarat yang adekuat (sebab) dengan akibat. Terminologi kausalitas yang biasa digunakan dalam keseharian mereka serta penerapan mekanisme ilmu alam meniscayakan rentetan peristiwa tanpa putus sebelum terjadinya akibat. Dengan demikian, hukum menemui kesulitan dalam menentukan sebab yang adekuat dengan akibat lantaran rentetan syarat tersebut merupakan suatu keharusan (if and only if).

Teori but-for juga menemukan kesulitan tatkala dihadapkan kepada kasus kausalitas di bawah tekanan (over determination) dan determinasi yang dilakukan secara bersamaan (joint determination). Salah satu contoh kasus overdetermination dapat ditemukan dalam kasus doen plegen yang menempatkan pelaku sebagai manus ministra. Seorang pegawai pos, misalnya, mengantar bungkusan berisi bom yang meledakkan rumah A. Pegawai pos tidak mengetahui isi bungkusan tersebut dan oleh karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. But-for test memandang pengiriman sebagai sebab yang secara intuitif menimbulkan akibat (ledakan bom). Namun atribusi pertanggungjawaban tidak dapat dilekatkan kepada pelaku sehingga tidak terjadi hubungan kausalitas.

Berbeda dengan cause in fact yang didasari pengertian sehari-hari tentang kausalitas, pertanggungjawaban yang dilekatkan kepada pelaku didasarkan kepada pengertian hukum. Tanggung jawab ini membatasi cakupan cause in fact yang terlalu luas dan memutuskan adanya hubungan kausalitas berdasarkan atribusi tanggung jawab tersebut. Dalam perspektif monistis, pandangan ini tidak menemui kejanggalan, khususnya penganut teori conditio sine qua non yang memandang hubungan kausalitas terjadi manakala terdapat cause in fact dan pembatasan tanggung jawab yang tertuang dalam proximate cause yang bertujuan melakukan filterisasi atas ekuivalensi syarat dengan pembedaan syarat dan sebab. Dengan kata lain, “syarat yang paling dekat dengan akibat” adalah sebab.

Kombinasi cause in fact dan proximate cause merupakan sebuah keharusan untuk membatasi rangkaian kausalitas tanpa batas yang dipahami oleh conditio sine qua non ataupun but-for test. Kendati terdapat kelemahan dalam teori conditio sine quo non terutama bagi pandangan dualistis, teori ini sangat populer di Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam Model Penal Code (MPC) yang secara tegas menyatakan teori ini sebagai acuan dalam menentukan adanya kausalitas. MPC mendefinisikan but-for test sebagai “conduct is the cause of a result when: (a) it is an antecedent but for which the result in question would not have occurred. . .”. Sementara itu, pedoman proximate cause guna membatasi kausalitas ditegaskan dalam the Book of Approved Jury Instructions (“BAJI”) yang merekomendasikan standar instruksi bagi para juri dalam meutuskan hubungan kausalitas dan pertanggungjawaannya, yaitu “A proximate cause of injury is a cause which . . . produces the injury and without which the injury would not have occurred”.

2. Teori Peramalan Subyektif (Subjective Prognose)
Selanjutnya proximate cause dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertanggungjawaban terhadap hubungan kausalitas prospektif dan pertanggungjawaban terhadap hubungan kausalitas retrospektif. Hubungan kausalitas prospektif yang disebut juga dengan teori peramalan subyektif menyimpulkan adanya hubungan kausalitas dari dugaan menurut akal sehat tentang sebab yang dapat menimbulkan akibat. Hubungan kausalitas disimpulkan secara subyektif berdasarkan ukuran-ukuran umum menurut akal sehat terhadap orang yang dinilai paling berpotensi bertanggung jawab atas terjadinya akibat. Dikatakan subyektif karena akibat tidak didasarkan kepada keadaan-keadaan obyektif dari hubungan kausal melainkan didasari dugaan atas peristiwa yang lazim terjadi secara ante factum. Selain itu, penentuan adanya kausalitas ditentukan juga dengan pengetahuan terdakwa tentang kemungkinan terjadinya akibat dari perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, pelaku yang tidak mengetahui kemungkinan terjadinya akibat dari pebuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas tadi. Pembenaran teori ini dapat dilihat dari keputusan Privy Council dalam kasus Wagon Mound yang menyatakan, “...if it is asked why a man should be responsible for natural or necessary or probable consequences of his act (or any similar description of them) the answer is that it is not because they are natural or necessary or prabable, but because, since they have this quality, it is judged by te standard of the reasonable man that he ought to have foreseen them”.

Subyektifitas dalam menentukan hubungan kausalitas yang didasari perkiraan akal sehat mempunyai kelemahan tersendiri terutama terkait dengan keterbatasan akal yang hanya mengetahui peristiwa-peristiwa yang lazim terjadi. Karenanya, sering kali teori peramalan subyektif mengabaikan fakta-fakta penting yang menyebabkan terjadinya akibat dengan alasan bahwa fakta-fakta tesebut tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat diketahui dengan pasti menurut akal sehat. Sebaliknya, fakta-fakta tesebut malah dinilai sebagai pemutus hubungan kausalitas. Dengan kata lain, terjadinya peristiwa yang tidak sesuai dengan perkiraan akal sehat justru memutus rangkaian kausalitas meski peristiwa tersebut berperan penting dalam melahirkan akibat. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan hakim dalam kasus Robert di mana seorang gadis diserang di dalam mobil dan terluka karena melompat dari atas mobil yang sedang melaju kencang,

“...was it the natural result of what the alleged assailant said an did, in the sense that it was something that could reasonably have been foreseen as a consequence of what he wa saying or doing? As it was put in the old case, it has got to be shown to be his act, and if of course the victim does something so “daft”, in the word of the appellant in the case, or so unexpected, not that this particular assailant did not actually foresee it but that no reasonable man could be expected to foresee it, that it is only in a very remote and unreal sense a consequence of assault, it is really occasiones by a voluntary act on the part of the victim which could not reasonably be foreseen and which breaks the chain of causation between the assault and te harm or injury”

Justifikasi atas pandangan ini ditemukan juga dalam hukum Queensland, Australia Barat dan Tazmania. Dikatakan dalam hukum Quennsland dan Australia Barat, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas yang terjadi apabila suatu peristiwa terjadi karena kebetulan (accident). Peraturan serupa ditemukan juga dalam hukum Tazmania yang menegaskan bahwa kejadian yang terjadi secara kebetulan (chance) tidak menyebabkan seseorang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Dengan demikian, hukum hanya mempertimbangkan kejadian yang lazim dalam suatu peristiwa dan mengabaikan hal-hal yang terjadi secara kebetulan yang tidak terduga oleh akal sehat.

Selain dalam bidang hukum secara umum, teori peramalan subyektif mempunyai tempat yang istimewa dalam bidang hukum ekonomi karena mengedepankan probabilitas untuk mencegah kerugian ekonomis. Kendati demikian, analisis ekonomis yang mempengaruhi paradigma teori peramalan subyektif digunakan secara luas dalam kausalitas di luar bidang hukum ekonomi. Dalam konteks ini, Shavell menghubungkan terjadinya akibat dengan tingkat kehati-hatian yang ditentukan berdasarkan “...the cost of taking care and the degree to which lack of care is a cause of expected loosses”. Dengan demikian, akibat dapat diduga sebelum peristiwa terjadi dengan melihat tingkat kejati-hatian yang berpotensi menimbulkan akibat. Karena bersifat ante factum, maka akibat berupa kerugian tidak harus bersifat konkrit (sudah terjadi) dan dapat dipastikan jumlah kerugiannya melainkan cukup apabila kerugian tersebut diperkirakan akan terjadi di kemudian hari. Karenanya, kemampuan pelaku untuk melakukan tindakan pencegahan menjadi tolak ukur terjadinya akibat. Pelaku yang mampu melakukan tindakan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas yang terjadi. Sebaliknya, pertanggungjawaban atas pelaku berlaku jikalau tindakan pencegahan gagal dilakukan.

Sedangkan kelayakan suatu tindakan disebut sebagai tindakan pencegahan yang memenuhi syarat kehati-hatian dilihat dari proposionalitas antara upaya kehati-hatian dan manfaat kehati-hatian. Dengan kata lain, upaya kehati-hatian harus sebanding dengan manfaat kehati-hatian yang ingin dicapai. Seorang penjaga pintu air, misalnya, mengetahui akibat banjir yang ditimbulkan oleh hujan lebat apabila ia tidak menutup semua pintu air. Namun ia hanya menutup sebagian pintu air yang mengakibatkan banjir di pemukiman warga. Tindakan penutupan sebagian pintu air tersebut bukan tindakan pencegahan yang memenuhi prinsip kehati-hatian kendati penjaga tersebut telah melakukan tindakan.


3. Teori Peramalan Obyektif (Objective Prognose)
Berbeda dengan teori peramalan subyektif yang menggunakan dugaan akal sehat dan probabilitas dalam menentukan hubungan kausalitas, teori peramalan obyektif yang juga dikenal dengan dengan kausalitas retrospektif mendasarkan adanya hubungan kusalitas kepada bukti-bukti konkrit yang disimpulkan setelah terjadinya akibat (post factum). Konklusi post factum ini erat kaitannya dengan prinsip thin skull yang lahir dari kasus selop yang menunjukan syarat penentu (sebab) yang adequat dengan akibat.

Teori ini mengabaikan dugaan subyektif meskipun dugaan tersebut didasarkan kepada kelaziman peristiwa yang terjadi sehari-hari. Menurut teori ini, sebuah syarat dapat disimpulkan sebagai akibat manakala peristiwa yang mengandung kausalitas telah terjadi dan secara konkrit terdapat sebab yang adequat dengan akibat. Karenanya, sebab tak terduga yang adequet dengan akibat menjadi faktor determinan terjadinya kausalitas termasuk peristiwa yang terjadi secara kebetulan (chance/accident)

Prinsip thin skull merupakan alternatif yang mengecualikan prinsip umum pertanggungjawaban kausalitas. Pertanggungjawaban tersebut tidak lagi disandarkan kepada peristiwa yang lazim terjadi melainkan didasarkan kepada fakta-fakta konkrit yang disimpulkan setelah peritiwa terjadi.

Moeljatno menambahkan bahwa pembuktian yang digunakan dalam peramalan obyektif harus dihasilkan penelitian ilmiah yang obyektif seperti visum et repertum. Dalam kasus selop, misalnya, harus lebih dulu dibuktikan melalui visum et repertum bahwa tulang kepala korban sangat tipis sehingga rentan benturan dari benda apapun. Visum tersebut membuktikan bahwa benturan yang lembut itu dapat menimbulkan pendarahan di otak yang mengakibatkan kematian. Karena itu, pembuktiannya tidak dapat menggunakan keterangan saksi semata ataupun keterangan ahli yang menganalisis peristiwa yang lazim terjadi berdasarkan pengetahuan dan perspektif ahli.

4. Pandangan Wright
NESS (Necessary Element in Sufficient Sets) merupakan improvisasi dari teori Hart dan Honore tentang kausalitas. Menurut Wright, suatu perbuatan X atau omisi yang dapat menimbulkan akibat tertentu, maka perbuatan tersebut harus memenuhi NESS bagi terjadinya akibat. Suatu perbuatan dikatakan sebagai atau bukan sebagai NESS hanyalah persoalan faktual yang terlepas dari masalah normatif. Wright mendefinisikan NESS dengan “... a particular condition was a cause of (contributed to) a specific result if and only if it was necessary element of a set of antecedent actual conditions that was sufficient for the occurence of the result”. Pengertian ini memperlihatkan bahwa ajaran NESS memperhitungkan setiap syarat yang sufficient guna menentukan syarat yang bersifat necessary (sebab). Dengan adanya sebab dalam rangkaian syarat (sufficient sets), maka syarat-syarat yang tidak relevan dengan kausalitas diabaikan. Sebab (necessary) ini pula yang menentukan irrelevansi syarat dengan kausalitas. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah A yang menusuk B tepat di jantungnya yang menyebabkan kematian dianggap sebagai sebab (necessary element) yang adekuat dengan akibat (kematian), di mana sebab tersebut ada bersama dengan syarat lainnya seperti keadaan korban yang masih hidup, ketiadaan rumah sakit di sekitar kejadian yang memungkinkan dilakukannya transfusi darah yang dapat mencegah kematian dan tusukan pisau tepat di jantung korban. Ketiga hal tersebut dikualifikasi sebagai syarat (sufficient sets), namun hanya tusukan tepat di jantung korban yang dinilai sebagai sebab (necessary element) yang secara langsung menyebabkan kematian. Dengan adanya tusukan tersebut, maka syarat lainnya menjadi irrelevan dengan akibat. Contoh ini juga memperlihatkan bahwa sebab adalah specius genus dari syarat karena penusukan tepat di jantung korban merupakan syarat sekaligus sebab. Sebaliknya tidak semua syarat adalah sebab.

Substansi teori ini terletak dalam dengan definisi necessary dan sufficient yang tidak cukup hanya diartikan secara literal. Marten Schultz mengartikan necessary sebagai “....a condition which, when it is in hand, brings about an effect of some sort, and where the effect would not have happened had it not been for that condition”. Sedangkan sufficient diartikan dengan “...a condition which brings about the effect (the event) under other given conditions, but where such an effect did not necessarily depend on the condition at hand but could also have followed from other factors”.

Dalam rangka menentukan konsep sufficient dan necessary dalam NESS, Richard Fumerton dan Ken Kress yang secara khusus meneliti tentang teori ini mengklasifikasi konsep sufficient dan necessary menjadi lima bagian, yaitu dari segi formal, analistis, sintetis, dari segi hukum dan kausalitas aktual.

Pertama, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara formal menimbulkan akibat. Kedua, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara analitis menimbulkan akibat. Ketiga, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara sintetis menimbulkan akibat. Keempat, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara analitis menimbulkan akibat.
* dari berbagai sumber
Baca selengkapnya »

Deelnemingan strafbaar feiten (penyertaan melakukan tindak pidana)

Senin, 18 April 2011
0 komentar

Dalam KUHP, diatur Pasal 55 dan 66 KUH Pidana:
1. Pleger(orang yang melakukan);
2. Doen Plegen(orang yang menyuruh melakukan);
3. Medepleger(orang yang turut melakukan);
4. Uitlokker(orang yang membujuk melakukan.

Ad. 1. Pleger
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.

Ad.2. Doen Plegen
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen plegen, paling sedikit harus ada dua orang, dimana salah seorang bertindak sebagai perantara. Sebab doen plegen adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana" sebagaimana diatur dalam Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUH Pidana.

Ad.3. Medepleger
Untuk dapat dikategorikan sebagai medepleger, paling sedikit juga harus tersangkut dua orang, yaitu "orang yang menyuruh melakukan" (pleger) dan "orang yang turut melakukan" (medepleger). Disebut "turut melakukan", karena ia terlibat secara langsung bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana, dan bukan hanya sekedar membantu atau terlibat ketika dalam tindakan persiapan saja. Ini berarti antara "orang yang turut melakukan" dengan pelaku, harus ada kerjasama secara sadar dan sengaja.

Ad.4. Uitlokker
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.

Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).
Baca selengkapnya »

poging tot misdrijt ( percobaan melakukan kejahatan)

0 komentar
A.Pengertian Percobaan
Pada umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai. Dalam hukum pidana percobaan merupakan suatu pengertian teknik yang memiliki banyak segi atau aspek. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya adalah apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan, bebarti tujuan yang dikejar tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, namun tidak menjadi persoalan.1
Menurut kata sehari-hari yang disebut dengan percobaan yaitu menuju kesesuatu hal, tetapi tidak sampai pada hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu yang sudah dimulai, tetapi tidak sampai selesai. Misalnya akan membunuh orang, telah menyerang akan tetapi orang yang di serang itu tidak sampai mati, bermaksud mencuri barang, tetapi barangnya tidak sampai terambil, dan sebagainya.2
Penjelasan lain mengenai definisi percobaan, berasal dari Memorie van Teolichting yaitu sebuah kalimat yang berbunyi: ”poging tot misdrijf is dan de bengonnen maar niet voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel door een begin van uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen”3 yang artinya: ”Dengan demikian, maka percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah di wujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan”.4
Pompe mengatakan bahwa mencoba adalah berusaha tanpa hasil. Kalau syarat-syarat percobaan ada, maka timbullah perbuatan pidana baru, meskipun dalam bentuk delik tidak selesai tetapi dapat dipidana. Pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe, yaitu bentuk perwujudan dari perbuatan pidana, sebab deliknya timbul, menampakkan diri, tetapi dalam bentuk belum selesai. Percobaan yang dapat dipidana mengandung arti perluasan dapat dipidananya delik tampak jelas dalam tuntutan jaksa yang menyebutkan rumusan Pasal nomor sekian juncto pasal 53 KUHP.5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa percobaan memiliki dua definisi yang pertama, percobaan adalah pelaksanaan tindakan dari kejahatan yang telah dimulai tetapi tidak selesai. Yang kedua, percobaan adalah suatu permulaan pelaksanaan tindakan dari niat yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
B.Basis Epitimologis Hukuman Percobaan
1.Percobaan yang Terpidana
Dalam pasal 53 KUHP diterapkan: ”Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dengan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Dapat dipidananya percobaan berarti perluasan dapat dipidananya delik yaitu perbuatan baru untuk sebagian dilaksanakan, seakan-akan masih ada unsur yang tersisa. Tetapi sudah dapat dijadikan pidana meskipun dengan pengurangan sepertiga dari pidana maksimum. Harga percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana (pasal 53 KUHP).6
Pengenaan pidana pada percobaan memiliki dasar ancaman hukuman, dalam ilmu hukum pidana ada dua teori yakni:
a)Teori subjektif
Menurut teori ini, kehendak berbuat jahat si pelaku itu merupakan dasar ancaman hukuman. Si pelaku telah terbukti mempunyai kehendak jahat dengan memulai melakukan kejahatan tersebut, maka pantaslah percobaan ini sudah dapat dikenakan hukuman pidana.
b)Teori objektif
Menurut teori ini, dasar ancaman hukuman bagi pelaku percobaan adalah karena sifat perbuatan pelaku telah membahayakan. Jadi, kehendak berbuat jahat belum cukup untuk melakukan ancaman hukuman.7
Kebanyakan suatu tidak pidana terjadi oleh satu orang, tetapi dalam berbuat tindak pidana mungkin juga tersangkut dua orang atau lebih. Mengingat akan kemungkinan ini pembuat undang-undang telah mengadakan peraturan juga, dengan memasukkan soal turut serta pada tindak pidana kedalam KUHP.8
Kerjasama beberapa orang dalam berbuat tindak pidana beranekaragam coraknya, baik sebagai orang yang melakukan perbuatan (dader), sebagai orang yang bersama-sama melakukan melakukan perbuatan (mededader), ataupun sebagai orang yang membujuk melakukan perbuatan (uitlokker), maupun sebagai pembantu melakukan perbuatan (medeplichtige).9
Sesuai dengan beranekaragamnya persekutuan itu mengenai tanggung jawab masing-masing, pembuat UU telah mengadakan aturan tentang tanggung jawab masing-masing. Peraturan termuat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55:
(1)Dipidana sebagai pembuat suatu perbuatan pidana:
1.mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana
2.mereka yang dengan memberi atau menjanjkan sesuatu, dengan menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dengan memberi kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, dengan sengaja menganjurkan orang lain suapaya melakukan perbuatan pidana.
(2)Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang dipertanggung jawabkan, beserta akibat-akibatnya.10
Menyuruh melakukan terjadi sebelum dilakukannya perbuatan. Dalam praktek pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh melakukan dibatasi hanya sampai kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pembuat materiil. Artinya, walaupun orang yang melakukan itu bermaksud untuk menyuruh melakukan sesuatu yang lebih jauh sifatnya, namun tanggung jawabnya hanya kepada perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh pembuat materiil. Tetapi jika pembuat materiil telah melakukan lebih dari apa yang telah disuruh melakukannya, maka orang yang menyuruh melakukannya itu tidaklah betanggung jawab atas hal selebihnya itu.11
Pelaku yang turut serta melakukan perbuatan pidana adalah yang bekerja sama dengan sengaja ikut serta dalam pelaksanaan perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya keikutsertaan tersebut, tidak dilihat dari masing-masing pelaku secara satu persatu, terlepas dari hubungannya perbuatan pelaku lainnya. Tetapi dipandang sebagai kesatuan antara pelaku satu dengan pelaku lainnya.12
Penganjur melakukan perbuatan pidana dengan perantaraan orang lain. Tetapi tidak semua perbuatan yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah penganjuran, kecuali memenuhi beberapa syarat berikut:
a)Memberi atau menjanjikan sesuatu, maksudnya memberi atau menjanjikan suatu barang, uang, dan segala keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan melakukan perbuatan pidana.
b)Menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, dimaksudkan dengan kekuasaan yang baik berdasarkan hukum publik dan hukum privat. Yang pokok adalah hubungan kekuasaan itu sungguh-sungguh ada pada saat dilakukannya perbuatan.
c)Memakai kekerasan, juga termasuk dalam hal menyuruh melakukan perbuatan pidana.
d)Memakai ancaman, maksudnya segala macam ancaman.
e)Memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Upaya ini juga disyaratkan dalam pembantuan seperti yang tercakup dalam pasal 56 KUHP yang isinya:
Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan:
1)mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
2)mereka sengaja memberi esempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.13
2.Percobaan yang tidak dipidana
Pengenaan pidana pada percobaan terbatas hanya pada kejahatan. Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi. Menurut Profesor van Bemmelen, dengan menentukan bahwa seseorang yang melakukan suatu percobaan, melakukukan suatu kejahatan itu dapat dihukum, maka sesungguhnya pembentuk undang-undang telah memperluas pengertian dader atau pelaku, oleh karena sudahlah jelas bahwa barangsiapa tidak berhasil melakukan suatu perbuatan yang terlarang ataupun barangsiapa tidak berhasil menimbulkan suatu akibat yang terlarang seperti yang dikehendaki, maka dengan sendirinya orang tersebut tidak memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan delik.14 Dalam KUHP terdapat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum, antara lain:
a)Pasal 184 ayat (5) KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang lawan seseorang,
b)Pasal 302 ayat (4) KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang,
c)Pasal 351 ayat (5) KUHP dan pasal 352 ayat (2), percobaan melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan,
d)Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tidak boleh dihukum.15
C.Syarat-syarat Percobaan
Berdasarkan pasal 53 ayat (1) KUHP, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku agar dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan kejahatan adalah:
•Adanya suatu maksud atau voornemen, artinya pelaku haruslah mempunyai suatu maksud untuk melakukan suatu kejahatan tertentu.
•Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uit veoring, artinya maksud pelaku telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki.
•Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki, kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalah-masalah yang tidak bergantung pada kemauannya.16
1.Pengertian Voornemen
Sejarah pembentukan pasal 53 KUHP ayat (1) tidak ditemukan penjelasan mengenai definisi voornemen atau maksud. Berkenaan dengan berbagai pendapat di dalam doktrin maka, Van Hattum berkata: ”SIMONS, van Hamel, ZEVENOERGEN en POMPE nemen aan dat vootnemen geheel gelijk staat met opzet,17 zodat van een voornemen des daders kan worden gesproken wanneer de dader opzet had zoals door de delichtsomschrijving gevorderd”. Yang artinya: ”SIMONS, van HAMEL, ZEVENBERGEN, dan POMPE berpendapat bahwa voornemen atau maksud itu adalah sama sekali sama dengan opzet, sehingga orang hanya dapat berbicara mengenai suatu maksud dari seorang pelaku, apabila perilaku tersebut mempunyai opzet sebagaimana yang telah di isyaratkan dalam rumusan delik yan bersangkutan”.18
Maksud atau niat tidak bisa disamakan dengan kesengajaan. Niat adalah sikap batin yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang dilakukan. Suatu sikap batin yang menunjuk kepada suatu arah tertentu, mungkin menjadi kesengajaan, jika mulai dilakukan dengan perbuatan. Jadi menyakan isnya niat dengan kesengajaan adalah benar, apabila ada percobaan selesai. Dalam hal percobaan yang tidak selesai, maka niat adalah sama dengan kesengajaan mengenai perbuatan-perbuatan yang telah dilaksanakan. Selanjutnya, mengenai perbuatan yang belum dilaksanakan niat merupakan suatu sikap batin yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang dilakukan itu. Dalam ilmu hukum pidana ini disebut melawan hukum yang subjektif.19
2.Pengertian Begin van uit voerings Handeling
Syarat kedua yang harus dipenuhi agar percobaan pidana dapat dihukum adalah voornemen atau maksud pelaku telah di wujudkan dalam suatu Begin van uit voerings Handeling atau dalam suatu ”permulaan suatu pelaksanaan”. Dalam ilmu hukum pidana timbul permasalahan apakah ”permulaan pelaksanaan” tersebut diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dan maksud pelaku ataukah dari kejahatan yang telah di maksud oleh pelaku telah dilakukannya.20
Sesuai pasal 53 ayat (1) KUHP di jelaskan:
a)Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat di hukum terdapat pada apa yang disebut ”voor bereidingshandelingen” atau tindakan-tindakan persiapan dengan apa yang disebut ”uit veoringshandelingen” atau tindakan pelaksanaan.
b)Yang dimaksud dengan uitveoringshandelingen adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah di mulai dengan pelaksanaannya.
c)Pembentuk UU tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tntang batas-batas antara voor bereidingshandelingen dengan uitveoringshandelingen seperti dimaksud di atas.21
Ada beberapa teori yang menjelaskan permulaan pelaksanaan, atara lain:
a)Teoro subyektif (G. A. Van HAMEL)
Adanya permulaan pelaksanaan perbuatan jika dipandang dari sudut niat ternyata tetap niatnya ini. Dalam ajaran yang berorientasikan mental ini, di anggap cukup kalau pembuat di waktu melakukan perbuatan menunjukkan sikap berbahayanya dan bahwa dia sanggup menyelesaikan kejahatan.
b)Teori obyektif (D. Simons)
Di isyaratkan bahwa pembuat harus melakukan segala sesuatu untuk menimbulkan akibat tanpa campur tangan siapapun, kalau tidak dihalangi oleh kejadian yang bukan karena kehendaknya.
c)Teori gabungan atau teori obyektif di perlunak (G. E. Lagemeijer)
Ada permulaan pelaksanaan kalau pembuat telah melakukan perbuatan yang menjelaskan kepada siapapun bahwa dia harus dianggap sanggup menyelesaikan niatnya.22
Perbuatan pelaksanaan harus dibedakan dengan dengan perbuatan persiapan. Perbuatan pelaksanaan menurut Hoge Rand adalah perbuatan yang hanya menurut pengalaman orang dengan tidak dilakukan perbuatan lagi, akan menimbulkan pembakaran, dapat dipandang sebagai perbuatan pelaksana.23 Sedang perbuatan persiapan adalah segala perbuatan yang mendahului perbuatan permulaan pelaksanaan, misalnya membeli senjata yang akan dipakai membunuh orang. Perbuatan-perbuatan persiapan tidak termasuk perbuatan pidana.24
Undang-undang tidak mengadakan perbedaan diantara macam-macam tingkatan perbuatan permulaan pelaksanaan. Segala tindakan diantara permulaan pelaksanaan dan selesainya pelaksanaan, termasuk pebuatan permulaan pelaksanaan. Teoritis segala macam perbuatan permulaan pelaksana, mempunyai nilai yang sama buat berlakunya hukum pidana, walaupun yang satu lebih dekat kepada saat terlaksananya kejahatan daripada yang lain. Didalam mengnakan hukuman, hakim yang mempunyai kebebasan didalam memberikan pernilaian hukuman itu dengan leluasa dapat memperhitungkan dan mempertimbangkan sifat perbuatan permulaan itu dan hubungannya dengan kejahatan yang dimaksud.25
Percobaan itu ada beberapa tingkatan, antara lain:
a)Percobaan melakukan kejahatan dinamakan orang percobaan yang sempurna, apabila perbuatan permulaan pelaksanaan sudah hampir mendekati terlaksananya kejahatan. Misalnya A menembak B, akan tetapi tembaannya tidak mengenai sasaran.
b)Percobaan disebut orang percobaan tertangguh, misalnya A bermaksud menembak B, tetapi dikala ia sedang membidik sempat melepaskan tembakannya, senapannya direbut orang lain.
c)Akhir percobaan dinamakan percobaan sejenis (gequalificeerde poging), jika percobaan untuk melakukan kejahatan tidak berhasil, tetapi apa yang dilakukan itu menghasilkan pula sesuatu kejahatan lain. Misalnya A membacok B dengan maksud untuk membunuh B, tetapi tidak berhasil, meskipun demikian B luka parah dan tidak terus mati. Selain A dapat dipersalahkan telah mencoba membunuh B, maka A dapat dituntut juga karena melakukan penganiayaan terhadap B.26
3.Pengertian keadaan-keadaan yang tidak bergantung pada kemauan pelaku.
Percobaan melakukan kejahatan merupakan delik, jika pelaku tidak meneruskan perbuatannya karena ada hambatan diluar kehendak pelaku. Tetapi apabila tidak selesainya pelaksanaan kejahatan disebabkan keadaan yang bergantung pada kemauan pelaku, maka menjadi tidak dapat dihukum. UU memberikan jaminan bahwa pelaku menjadi tidak dapat dihukum, yaitu:
a)Apabila pelaku dapat membuktikan bahwa pada waktunya yang tepat, pelaku masih mempunyai keingginan untuk membatalkan niatnya yang jahat
b)Karena jaminan semacam itu merupakan suatu sarana yang paling pasti untuk dapat menghentikan pelaksanaan suatu kejahatan yang sedang berlangsung.27
Kemudian UU menjadikan tidak selesainya pelaksanaan kejahatan disebabkan keadaan yang tidak bergantung pada kemauan pelaku sebagai bagian khusus dari percobaan yang dapat dipidana. Oleh karena itu harus disebutkan dalam dakwaan dan tidak selesai kejahatan tidak ada hubungan. Makamah Agung memudahkan pembuktian dengan menganggap cukup terbukti dengan adanya keadaan mengapa kejahatan tidak selesai. Selain itu tidak ada tanda kerjasama sukarela dari pembuat untuk menghalangi apa yang akan terjadi.28
D.Bentuk Hukuman Bagi Pelaku Percobaan Pidana.
Sanksi terhadap percobaan diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut:
(2)Maksimal hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga.
(3)Kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman bagi percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) KUHP dikuranggi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.29
Didalam ayat (2) dari Pasal 53 KUHP ditentukan bahwa hukuman yang dapat dikenakan atas perbuatan percobaan ialah maksimum hukuman pokok atas suatu kejahatan diancam hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka terhadap perbuatan percobaannya diancamkan hukuman maksimum lima belas tahun penjara.31
Dalam hal percobaan maksimum ancaman hukuman (bukan yang dijatuhkan) pada kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup diganti dengan hukuman penjara maksimum lima belas tahun, akan tetapi mengenai hukuman tambahan sama saj halnya dengan kejahatan yang selesi dilakukan.31
--------------------------------------
1.Wijono Projodikoro, Aas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Eresco, 1989), hal. 97
2.R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung: PT. Karya, 1984), hal. 76
3.Van Hamel, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht, hal. 356
4.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hal. 536
5.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal. 215
6.Ibid, hal. 214
7.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 94
8.R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung: PT. Karya, 1984), hal. 82
9.Ibid,
10.Mr. Roesian Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 96-97
11.Ibid, hal. 97-98
12.Ibid, hal. 98
13.Ibid, hal. 98-100
14.Van Bemmelen, Ons Strafrecht I, hal. 250
15.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 97
16.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hal. 536
17.Van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandse Strafrecht I, hal. 491
18.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hal. 537
19.Mr. Roesian Saleh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan Penjelasnya, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hal. 94
20.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hal. 553
21.Ibid,
22.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal 239-240
23.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 95
24.R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 84
25.Ibid, hal. 84
26.Ibid, hal. 84-85
27.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Abadi Bakti, 1997), hal. 571
28.D. Schaffmeister, N. Keijzer, Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hal 240
29.Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 97
30.R. Treslan, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogjakarta: UNPAD, 1994), hal. 87
31R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik Khusus, (Bandung: PT. Karya, 1984), hal. 82
Baca selengkapnya »

Pidana dan Pemidanaan

0 komentar
Pidana dan Pemidanaan

Kuliah Hukum Pidana 6 April 2009

Istilah pidana :
1. hukum penitensier (hukum pemenjaraan) Utrecht II hal 268
2. huku sanksi (bukan hanya penjara)
3. straf
4. hukuman
5. punishment

Pidana :
• Nestapa/derita
• Yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara (melalui pengadilan)
• Dikenakan pada subjek hukum
• Yang secara sah telah melanggar hukum pidana
• Melalui proses peradilan pidana

Proses Peradilan Pidana (the criminal justice process)
• Struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan
• Oleh sejumlah lembaga (kepolisian)
• Yang berkenaan dengan penanganan dan pengendalian
• Kejahatan dan pelaku kejahatan

Pidana sebagai pranata sosial :
• Sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma
• Reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap hati nurani bersama
• Ketidaksetujuan terhadap perilaku
• Konsekuensi yang tidak menyenangkan

Hukum penitentier :
Segala peraturan positif mengenai sistem hukuman dan sistem tindakan yang memuat:
• Jenis sanksi
• Berat sanksi (mati, penjara)
• Lamanya sanksi
• Cara sanksi itu dilakukan
• Tempat sanksi itu dijalankan

Unsur-unsur atau ciri-ciri pidana
• Suatu pengenaan penderitaan
• Diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang

Pemidanaan :
• Upaya yang sah
• Dilandasi oleh hukum
• Mengenakan penderitaan
• Melalui proses peradilan pidana
• Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana

Contoh pidana pada zaman dahulu tepatnya 22 April 1808
1. dibakar hidup (pembunuh/pembakar)
2. dimatikan dengan keris
3. dcap bakar
4. dipukul dengan rantai
5. ditahan
6. kerja paksa

Hukum pidana merupakan sanksi yang istimewa
• Karena dianggap melanggar HAM misal perampasan kemerdekaan, pembatasan kemerdekaan, perampasan nyawa
• Utimum Remedium yaitu merupakan jalan terakhir atau jalan satu-satunya
• Negara adalah satu-satunya alat untuk menjamin kepastian hukum
• Disparitas pemidanaan : gap/perbedaan antara pemidanaan satu dengan yang lain untuk menguranginya ada pedoman bagi hakim

Prevensi:
Prevensi umum : hukuman dijatuhkan agar orang lain menghindari perbuatan tersebut
Prevensi khusus : ditujukan bagi pelaku kejahatan supaya jera/kapok, tidak mengulangi perbuatan, menakut-nakuti, perlindungan terhadap masyarakat dengan contoh misal si pelaku diasingkan ke suatu daerah.

Teori pemidanaan:
1. Teori Absolut / retributif / pembalasan (lex talionis) : hukuman adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekuensi kejahatan sehingga orang yang salah harus dihukum.
Menurut Leo Polak :
1. perbuatan dapat dicela
2. tidak boleh dengan maksud prevensi tetapi untuk represif
3. beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik
contoh : asas dalam hukum Islam

2. Teori Relatif/ tujuan
• Menjatuhkan hukuman untuk tujuan tertentu
• Seyogyanya hukuman bersifat memperbaiki / merehabilitasi (con:sakit moral harus diobati)
• Tekanan pada treatment
• Individualisasi pemidanaan

3. Teori Gabungan (multifungsi)
• Pembalasan -> membuat pelaku menderita
• Prevensi -> merehabilitasi
• Melindungi masyarakat

Restorative justice : pelaku harus mengembalikan keadaan pada kondisi semula, keadilan bukan saja menjatuhkan sanksi namun memperhatikan keadilan bagi korban.
Baca selengkapnya »

Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (Buku ke - tiga tentang Pelanggaran)

0 komentar

Daftar isi

Bab I - Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang 

Atau Barang Dan Kesehatan

Pasal 489
  1. Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.
Pasal 490
Diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah:
  1. barang siapa menghasut hewan terhadap orang atau terhadap hewan yang sedang ditunggangi, atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan:
  2. barang siapa tidak mencegah hewan yang ada di bawah penjagaannya, bilamana hewan itu menyerang orang atau hewan yang lagi ditunggangi atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan:
  3. barang siapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada di bawah penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian;
  4. barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.
Pasal 491
Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah:
  1. barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga;
  2. barang siapa diwajibkan menjaga seorang anak, meninggalkan anak itu tanpa dijaga sehingga oleh karenanya dapat timbul bahaya bagi anak itu atau orang lain.
Pasal 492
  1. Barang siapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, atau karena hal yang dirumuskan dalam pasal 536, dijatuhkan pidana kurungan paling lama dua minggu.
Pasal 493
Barang siapa secara melawan hukum di jalan umum membahayakan kebebasan bergerak orang lain, atau terus mendesakkan dirinya bersama dengan seorang atau lebih kepada orang lain yang tidak menghendaki itu dan sudah tegas dinyatakan, atau mengikuti orang lain secara mengganggu, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 494
Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:
  1. barang siapa tidak mengadakan penerangan secukupnya dan tanda-tanda menurut kebiasaan pada penggalian atau menumpukkan tanah di jalan umum, yang dilakukan oleh atau atas perintahnya, atau pada benda yang ditaruh di situ oleh atau atas perintahnya;
  2. barang siapa tidak mengadakan tindakan seperlunya pada waktu melakukan suatu pekerjaan di atas atau dipinggir jalan umum untuk memberi tanda bagi yang lalu di situ, bahwa ada kemungkinan bahaya;
  3. barang siapa menaruh atau menggantungkan sesuatu di atas suatu bangunan, melempar atau menuangkan ke luar dari situ sedemikian rupa hingga oleh karena itu dapat timbul kerugian pada orang yang sedang menggunakan jalan umum;
  4. barang siapa membiarkan di jalan umum, hewan untuk dinaiki, untuk menarik atau hewan muatan tanpa mengadakan tindakan penjagaan agar tidak menimbulkan kerugian;
  5. barang siapa membiarkan ternak berkeliaran di jalan umum tanpa mengadakan tindakan penjagaaan, agar tidak menimbulkan kerugian;
  6. barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang, menghalangi sesuatau jalanan untuk umum di darat maupun di air atau menimbulkan rintangan karena pemakaian kendaraan atau kapal yang tidak semestinya.
Pasal 495
  1. Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, di tempat yang dilalui orang memasang ranjau perangkap, jerat, atau perkakas lain untuk menangkap atau membunuh binatang buas, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sesudah adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.
Pasal 496
Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membakar barang tak bergerak kepunyaan sendiri, diancam dengan pidana denda paling tinggi tujuh ratus lima puluh rupiah.
Pasal 497
Diancam dengan pidana denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:
  1. barang siapa di jalan umum atau di pinggirnya, ataupun di tempat yang sedemikian dekatnya dengan bangunan atau barang, hingga dapat timbul bahaya kebakaran, menyalakan api tanpa perlu menembakkan senjata api;
  2. barang siapa melepaskan balon angin di mana digantungkan bahan-bahan menyala.
Pasal 498 dan 499
Ditiadakan berdasarkan S. 32 - 143 jo. 33 - 9.
Pasal 500
Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membikin obet ledak, mata peluru atau peluru untuk senjata api, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
Pasal 501
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah:
  1. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan, barang makanan atau minuman yang dipalsu atau yang busuk, ataupun air susu dari ternak yang sakit atau yang dapat mengganggu kesehatan;
  2. barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan daging ternak yang dipotong karena sakit atau mati dengan sendirinya.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.
Pasal 502
  1. Barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang untuk itu, memburu atau membawa senjata api ke dalam hutan negara di mana dilarang untuk itu tanpa izin, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah;
  2. Binatang yang ditangkap atau ditembak serta perkakas dan senjata yang digunakan dalam pelanggaran, dapat dirampas.

Bab II - Pelanggaran Ketertiban Umum

Pasal 503
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
  1. barang siapa membikin ingar atau riuh, sehingga ketentraman malam hari dapat terganggu;
  2. barang siapa membikin gaduh di dekat bangunan untuk menjalankan ibadat yang dibolehkan atau untuk sidang pengadilan, di waktu ada ibadat atau sidang.
Pasal 504
  1. Barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu.
  2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Pasal 505
  1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencarian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
  2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun diancam dengan pidana kurungan paling lama enam bulan.
Pasal 506
Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 507
Diancam dengan pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
  1. barang siapa tanpa wenang memakai suatu gelar ningrat, atau suatu tanda kehormatan Indonesia;
  2. barang siapa tanpa izin Presiden, manakala itu diperlukan, menerima suatu tanda kehormatan, gelar, pangkat atau derajat asing;
  3. barang siapa ketika ditanya oleh penguasa yang berwenang tentang namanya, memberi nama yang palsu.
Pasal 508
Barang siapa tanpa wenang memakai dengan sedikit penyimpangan suatu nama atau tanda jasa yang pemakaiannya menurut ketentuan undang-undang, semata-mata untuk suatu perkumpulan atau personal perkumpulan, atau personal dinas kesehatan tentara, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 508 bis
Barang siapa di muka umum tanpa wenang memakai pakaian yang menyamai pakaian jabatan yang ditetapkan untuk pegawai negeri atau pejabat yang bekerja pada negara, pada suatu provinsi, pada suatu daerah yang berdiri sendiri yang diakui atau yang diatur dengan undang-undang sehingga patut ia dapat dipandang orang sebagai pegawai atau pejabat itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 509
Barang siapa tanpa izin meminjamkan uang atau barang dengan gadai, atau dalam bentuk jual-beli dengan boleh dibeli kembali ataupun dalam bentuk kontrak komisi, yang nilainya tidak lebih dari seratus rupiah, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Pasal 510
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu:
  1. mengadakan pesta lain yang ditunjuk untuk itu:
  2. mengadakan arak-arakan di jalan umum.
(2) Jika arak-arakan diadakan untuk menyatakan keinginan-keinginan secara menakjubkan, yang bersalah diancam dengan pidana kurungan paling lama dua minggu atau pidana denda dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.
Pasal 511
Barang siapa di waktu ada pesta arak-arakan, dan sebagainya, tidak menaati perintah dan petunjuk yang diadakan oleh polisi untuk mencegah kecelakaan oleh kemacetan lalu lintas di jalan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 512
  1. Barang siapa tidak diwenangkan melakukan pencarian yang menurut aturan-aturan umum harus diberi kewenangan untuk itu, melakukannya tanpa keharusan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  2. Barang siapa diwenangkan melakukan pencarian yang menurut aturan-aturan umum harus diberi kewenangan untuk itu, dalam melakukan pencarian tersebut tanpa keharusan melampaui batas kewenangannya, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
  3. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, maka dalam hal ayat pertama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua bulan, dan dalam hal ayat kedua, paling lama satu bulan.
Pasal 512a
Barang siapa sebagai mata pencarian, baik khusus maupun sebagai sambilan menjalankan pekerjaan dokter atau dokter gigi dengan tidak mempunyai surat izin, di dalam keadaan yang tidak memaksa, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda setinggi-tingginya seratus lima puluh ribu rupiah.
Pasal 513
Barang siapa menggunakan atau membolehkan digunakan barang orang lain yang ada padanya karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya,untuk pemakaian yang tidak diizinkan oleh pemiliknya, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 514
Seorang pekerja harian, pembawa bungkusan, pesuruh, pemikul atau kuli, yang dalam menjalankan pencariannya melakukan kelalaian atau kekurangan dalam pengembalian perkakas yang diterima untuk dipakai, atau dalam penyampaian barang yang diterima untuk diangkut, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 515
(1) Diamcam denga pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah;
  1. barang siapa pindah kediaman dari bagian kota, desa atau kampung di mana dia menetap, tanpa memberitahukan sebelumnya kepada penguasa yang berwenang dengan menyebut tempat menetap yang baru;
  2. barang siapa setelah menetap di bagian kota, desa atau kampung, tidak memberitahukan hal itu kepada penguasa yang berwenang dalam tenggang waktu empat belas hari, dengan menyebut nama, pencarian dan tempat asalnya.
(2) Ketentuan dalam ayat pertama tidak berlaku bagi orang yang pindah tempat kediaman dan menetap, yang masih di dalam satu kota.
Pasal 516
  1. Barang siapa menjadikan sebagai pencarian untuk memberi tempat bermalam kepada orang lain, dan tidak mempunyai register terus-menerus, atau tidak mencatat atau menyuruh catat nama, pencarian atau pekerjaan, tempat kediaman, hari datang dan perginya orang yang bermalam di situ, atau atas permintaan kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, tidak memperlihatkan register itu, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama enam hari.
Pasal 517
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
  1. barang siapa membeli, menukar, menerima untuk ibadah, gadai, pakai atau simpan dari seorang tentara di bawah pangkat perwira; atau menjualkan, menggadaikan, meminjamkan atau menyimpankan barang tersebut untuk seorang tentara di bawah pangkat perwira, yang diberikan tanpa izin dari atau nama perwira.
  2. barang siapa menjadikan kebiasaan atau pencarian untuk membeli barang-barang yang demikian, tidak menaati peraturan mengenai pencatatan dalam register yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatkan dua kali.
Pasal 518
Barang siapa tanpa wenang memberi pada atau menerima dari seorang terpidana sesuatu barang, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 519
  1. Barang siapa membikin, menjual, menyiarkan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau disiarkan, ataupun memasukannya ke Indonesia, barang cetakan, potongan logam atau benda-benda lain yang bentuknya menyerupai uang kertas, mata uang, benda- benda emas atau perak dengan merek negara, atau perangko pos, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  2. Benda-benda yang merupakan pelanggaran dapt dirampas.
Pasal 519 bis
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan, atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah:
  1. barang siapa mengumumkan isi apa yang ditangkap lewat pesawat penerima radio yang dipakai olehnya atau yang ada di bawah pengurusannya, yang sepatutnya harus diduganya bahwa itu tidak untuk dia atau untuk diumumkan, maupun memberitahukannya kepada orang lain, jika sepatutnya harus diduganya bahwa itu akan diumumkan dan memang lalu disusul dengan pengumuman;
  2. barang siapa mengumumkan berita yang ditangkap lewat pesawat penerima radio, jika ia sendiri, maupun orang dari mana berita itu diterimanya, tidak berwenang untuk itu.
Pasal 520
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan:
  1. barang siapa yang setelah mendapat pengunduran pembayaran hutang dengan kehendak sendiri melakukan perbuatan-perbuatan, untuk mana menurut aturan-aturan umum, diharuskan adanya kerjasama dengan pengurus;
  2. seorang pengurus atau komisaris perseroan, maskapai, perkumpulan atau yayasan, yang setelah mendapat pengunduran bayar hutang, dengan kehendak sendiri melakukan perbuatan-perbuatan untuk mana menurut aturan-aturan umum, diharuskan adanya kerjasama dengan pengurus.

Bab III - Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum

Pasal 521
Barang siapa melanggar ketentuan peraturan penguasa umum yang telah diumumkan mengenai pemakaian dan pembagian air dari perlengkapan air atau bangunan pengairan guna keperluan umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari, atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 522
Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 523
Barang siapa tanpa alasan yang sah membiarkan tidak dikerjakannya pekerjaan rodi, pekerjaan desa atau pekerjaan perusahaan kebun negara, diancam dengan pidana kurungan paling tinggi tiga hari atau pidana denda paling tinggi sepuluh rupiah.
Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat enam bulan sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, dapat diancam dengan pidana kurungan paling tinggi tiga bulan.
Pasal 524
Diancam dengan pidana paling banyak sembilan ratus rupiah:
  1. barangsiapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa, atau orang yang sudah tahu akan di bawah pengampuan, atau orang yang akan atau sudah dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dipanggil untuk didengar selaku keluarga sedarah atau semenda, selaku suami/istri, wali atau wali pengawas oleh hakim atau atas perintahnya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri maupun dengan perantaraan kuasanya jika itu dibolehkan, tanpa alasan yang dapat diterima;
  2. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa atau orang yang sudah atau akan di bawah pengampuan, dipanggil untuk didengar oleh kantor peninggalan harta atau atas permintaannya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri maupun dengan perantaraan kuasanya jika itu dibolehkan, tanpa alasan yang dapat diterima;
  3. barang siapa dalam perkara mengenai orang yang belum dewasa dipanggil untuk didengar oleh majelis perwalian atau atas permintaannya oleh kepala polisi, tidak datang sendiri atau dengan perantaraan kuasanya, tanpa alasan yang dapat diterima.
Pasal 525
  1. Barang siapa ketika ada bahaya umum bagi orang atau barang, atau ketika ada kejahatan tertangkap tangan diminta pertolongannya oleh penguasa umum tetapi menolaknya, padahal mampu untuk memberi pertolongan tersebut tanpa menempatkan diri langsung dalam keadaan yang membahayakan, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah;
  2. Ketentuan ini tidak berlaku bagi mereka yang menolak memberi pertolongan karena ingin menghindari atau menghalaukan bahaya penuntutan bagi salah seorang keluarganya sedarah atau semenda dalam garis lurus atau menyimpang, sampai derajat kedua atau ketiga, atau bagi suami (istri) atau bekas suaminya (istrinya).
Pasal 526
Barang siapa menyobek, membikin tak terbaca atau merusak suatu pemberitahuan di muka umum dari pihak penguasa yang wenang atau karena ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
Pasal 527
Ditiadakan berdasarkan L.N. 1955 - 28.
Pasal 528
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang:
  1. membikin salinan atau petikan dari surat-surat jabatan negara dan alat-alatnya, yang dengan perintah penguasa umum harus dirahasiakan;
  2. mengumumkan seluruh atau sebagaian surat-surat tersebut dalam butir 1;
  3. mengumumkan hal-hal yang termakstub dalam surat-surat tersebut dalam butir 1, padahal sewajarnya dapat diduga bahwa hal-hal itu harus dirahasiakan.
(2) Perbuatan itu tidak dipidana, jika perintah merahasiakan jelas diberikan karena alasan lain daripada kepentingan dinas atau umum.

Bab IV - Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Perkawinan

Pasal 529
Barang siapa tidak memenuhi kewajibannya menurut undang-undang untuk melaporkan pada pejabat Catatan Sipil atau perantaranya tentang kelahiran dan kematian, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 530
  1. Seorang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan, yang hanya dapat dilangsungkan di hadapan pejabat Catatan Sipil, sebelum dinyatakan padanya bahwa pelangsungan di muka pejabat itu sudah dilakukan, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama dua bulan.

Bab V - Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan Pertolongan

Pasal 531
Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Bab VI - Pelanggaran Kesusilaan

Pasal 532
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah:
  1. barang siapa di muka umum menyanyikan lagu-lagu yang melanggar kesusilaan;
  2. barang siapa di muka umum mengadakan pidato yang melanggar kesusilaan;
  3. barang siapa di tempat yang terlihat dari jalan umum mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan.
Pasal 533
Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah:
  1. barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambar atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja;
  2. barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum dengan terang-terangan memperdengarkan isi tulisan yang mampu membangkitkan nafsu birahi para remaja;
  3. barang siapa secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan suatu tulisan, gambar atau barang yang dapat merangsang nafsu berahi para remaja maupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, tulisan atau gambar yang dapat membangkitkan nafsu berahi para remaja;
  4. barang siapa menawarkan, memberikan untuk terus atau sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan gambar atau benda yang demikian, pada seorang belum dewasa dan di bawah umur tujuh belas tahun;
  5. barang siapa memperdengarkan isi tulisan yang demikian di muka seorang yang belum dewasa dan dibawah umur tujuh belas tahun.
Pasal 534
Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 536
  1. Barang siapa terang dalam keadaan mabuk berada di jalan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang dirumuskan dalam pasal 492, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.
  3. Jika terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama berakhir dan menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu.
  4. Pada pengulangan ketiga kalinya atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang kemudian sekali karena pengulangan kedua kalinya atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Pasal 537
Barang siapa di luar kantin tentara menjual atau memberikan minuman keras atau arak kepada anggota Angkatan Bersenjata di bawah pangkat letnan atau kepada istrinya, anak atau pelayan, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi seribu lima ratus rupiah.
Pasal 538
Penjual atau wakilnya yang menjual minuman keras yang dalam menjalankan pekerjaan memberikan atau menjual minuman keras atau arak kepada seorang anak di bawah umur enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga minggu atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 539
Barang siapa pada kesempatan diadakan pesta keramaian untuk umum atau pertunjukkan rakyat atau diselenggarakan arak-arakan untuk umum, menyediakan secara cuma-cuma minuman keras atau arak dan atau menjanjikan sebagai hadiah, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua belas hari atau pidana denda paling tinggi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
Pasal 540
(1) Diancam dengan pidana kurungan paling lama delapan hari atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah:
  1. barang siapa menggunakan hewan untuk pekerjaan yang terang melebihi kekuatannya;
  2. barang siapa tanpa perlu menggunakan hewan untuk pekerjaan dengan cara yang menyakitkan atau yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
  3. barang siapa menggunakan hewan yang pincang atau yang mempunyai cacat lainnya, yang kudisan, luka-luka atau yang jelas sedang hamil maupun sedang menyusui untuk pekerjaan yang karena keadaannya itu tidak sesuai atau yang menyakitkan maupun yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
  4. barang siapa mengangkut atau menyuruh mengangkut hewan tanpa perlu dengan cara yang menyakitkan atau yang merupakan siksaan bagi hewan tersebut;
  5. barang siapa mengangkut atau menyuruh mengangkut hewan tanpa diberi atau disuruh beri makan atau minum.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama karena salah satu pelanggaran pada pasal 302, dapat dikenakan pidana kurungan paling lama empat belas hari.
Pasal 541
(1) Diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah;
  1. barang siap menggunakan sebagai kuda beban, tunggangan atau kuda penarik kereta padahal kuda tersebut belum tukar gigi atau kedua gigi dalamnya di rahang atas belum menganggit kedua gigi dalamnya di rahang bawah;
  2. barang siapa memasangkan pakaian kuda pada kuda tersebut dalam butir 1 atau mengikat maupun memasang kuda itu pada kendaraan atau kuda tarikan;
  3. barang siapa menggunakan sebagai kuda beban, tunggangan atau penarik kereta seekor kuda induk, dengan membiarkan anaknya yang belum tumbuh keenam gigi mukanya, mengikutinya.
(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun setelah ada pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang berdasarkan pasal 540, ataupun karena kejahatan berdasarkan pasal 302, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.
Pasal 542
Ditiadakan berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1974.
Pasal 543
Ditiadakan berdasarkan S.23 - 277, 352.
Pasal 544
  1. Barang siapa tanpa izin kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu mengadakan sabungan ayam atau jangkrik di jalan umum atau di pinggirnya, maupun di tempat yang dapat dimasuki oleh khalayak umum, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.
Pasal 545
  1. Barang siapa menjadikan sebagai pencariannya untuk menyatakan peruntungan seseorang, untuk mengadakan peramalan atau penafsiran impian, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah.
  2. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidananya dapat dilipatduakan.
Pasal 546
Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
  1. Diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
  2. barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat-jimat atau benda-benda yang dikatakan olehnya mempunyai kekuatan gaib;
  3. barang siapa mengajar ilmu-ilmu atau kesaktian-kesaktian yang bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa melakukan perbuatan pidana tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
Pasal 547
Seorang saksi, yang ketika diminta untuk memberi keterangan di bawah sumpah menurut ketentuan undang-undang, dalam sidang pengadilan memakai jimat-jimat atau benda- benda sakti, diancam dengan pidana kurungan paling lama sepuluh hari atau pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.

Bab VII - Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman Dan Pekarangan

Pasal 548
Barang siapa tanpa wenang membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun, di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
Pasal 549
  1. Barang siapa tanpa wenang membiarkan ternaknya berjalan di kebun, di padang rumput atau di ladang rumput atau di padang rumput kering, baik di tanah yang telah ditaburi, ditugali atau ditanami atau yang hasilnya belum diambil, ataupun di tanah kepunyaan orang lain oleh yang berhak dilarang dimasuki dan sudah diberi tanda larangan yang nyata bagi pelanggar, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.
  2. Ternak yang menyebabkan pelanggaran, dapat dirampas.
  3. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama empat belas hari.
Pasal 550
Barang siapa tanpa wenang berjalan atau berkendaraan di tanah yang sudah ditaburi, ditugali atau ditanami, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.
Pasal 551
Barang siapa tanpa wewenang berjalan atau berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang memasukinya, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah

Bab VIII - Pelanggaran Jabatan

Pasal 552
Seorang pejabat yang berwenang mengeluarkan salinan atau petikan putusan pengadilan, jika mengeluarkan salinan atau petikan demikian itu sebelum putusan ditandatangani sebagaimana mestinya, diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
Pasal 553
Ditiadakan berdasarkan S. 35 - 576; lihat pasal 528.
Pasal 554
Diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, seorang bekas pejabat yang tanpa izin penguasa yang berwenang menahan surat-surat jabatan.
Pasal 555
Diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah kepala lembaga pemasyarakatan, tempat menahan orang tahanan sementara atau orang yang disandera, atau kepala rumah pendidikan negara atau rumah sakit jiwa, yang menerima atau menahan orang dalam tempat itu dengan tidak meminta diperlihatkan kepadanya lebih dahulu surat perintah penguasa yang berwenang, atau putusan pengadilan, atau yang alpa menuliskan menurut aturan dalam daftar hal penerimaan itu dan perintah atau keputusan yang menjadi alasan orang itu diterima.
Pasal 556
Seorang pejabat catatan sipil yang sebelum melangsungkan perkawinan tidak minta diberikan padanya bukti-bukti atau keterangan-keterangan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 557
Diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah:
  1. seorang pejabat catatan sipil yang bertindak berlawanan dengan ketentuan aturan- aturan umum mengenai register atau akta catatan sipil, mengenai tata cara sebelumnya perkawinan atau pelaksanaan perkawinan;
  2. setiap orang lain penyimpan register itu yang bertindak berlawanan dengan ketentuan aturan-aturan umum mengenai regiter dan akta catatan sipil.
Pasal 557a
Seorang perantara catatan sipil yang bertindak berlawanan dengan ketentuan reglemen pemeliharaan register catatan sipil orang-orang Cina diancam dengan denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah.
Pasal 558
Seorang pejabat catatan sipil yang tidak memasukkan suatu akta dalam register atau menuliskan suatu akta di atas kertas lepas, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 558a
Seorang perantara catatan sipil yang tidak membikin akta daripada suatu pemberitahuan kepadanya menurut ketentuan tentang pemeliharaan register catatan sipil bagi orang- orang Cina, atau menuliskan suatu akta di kertas lepas, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.
Pasal 559
Diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah:
  1. seorang pejabat catatan sipil yang tidak melaporkan kepada penguasa yang berwenang sebagaimana diharuskan oleh ketentuan undang-undang;
  2. seorang pejabat yang tidak melaporkan kepada pejabat catatan sipil, sebagaimana diharuskan oleh ketentuan undang-undang.

Bab IX - Pelanggaran Pelayaran

Pasal 560
Seorang nakoda kapal Indonesia yang berangkat sebelum dibikin dan ditandatangani daftar anak buah yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 561
Seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak mempunyai di kapalnya kertas-kertas kapal, buku-buku dan surat-surat yang diharuskan oleh ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 562
Diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
  1. seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak menjaga supaya buku-buku harian di kapal dipelihara menurut aturan-aturan umum, atau tidak memperlihatkan buku-buku harian itu di mana dan apabila menurut ketentuan undang-undang itu diharuskan padanya;
  2. seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak memelihara register pidana yang diharuskan oleh aturan-aturan umum menurut ketentuan undang-undang, atau tidak memperlihatkannya di mana dan apabila menurut ketentuan undang-undang itu diharuskan padanya;
  3. seorang nakoda kapal Indonesia yang jika register pidana tidak ada, tidak memberi keterangan kepada hakim sebagaimana diharuskan menurut ketentuan undang-undang;
  4. seorang pengusaha pelayaran, pemegang buku atau nakoda kapal Indonesia yang menolak permintaan untuk memperlihatkan kepada yang berkepentingan buku-buku harian yang dipelihara di kapalnya, atau menolak untuk memberi salinan dari buku-buku itu, dengan membayar biayanya.
Pasal 563
Seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak mencukupi kewajibannya menurut undang- undang mengenai pencatatan dan pemberitahuan kelahiran dan kematian selama perjalanannya, diancam dengan pidana denda paling banyak seribu lima ratus rupiah.
Pasal 564
Seorang nakoda atau anak buah yang tidak memperhatikan ketentuan undang-undang untuk mencegah tabrakan disebabkan karena kapalnya melanggar atau terdampar, diancam dengan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 565
Barang siapa tanpa wewenang menggunakan suatu tanda pengenal walaupun dengan sedikit perubahan, menurut ketentuan undang-undang yang hanya boleh dipakai oleh kapal-kapal rumah sakit, sekoci-sekoci kapal-kapal yang demikian, maupun perahu- perahu yang digunakan untuk pekerjaan merawat orang sakit, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 566
Seorang nakoda kapal Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan padanya menurut pasal 358a Kitab Undang-undang Hukum Dagang, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak emapt ribu lima ratus rupiah.
Pasal 567
Seorang penguasa pelabuhan atau nakoda kapal Indonesia yang menggunakan untuk pekerjaan anak buah orang-orang yang tidak mengadakan perjanjian kerja ebagaimana dimaksud pasal 395 Kitab Undang-undang Hukum Dagang atau yang tidak menjalankan perusahaan di kapal atas biaya sendiri, ataupun menggunakan orang-orang yang namanya tidak ada dalam daftar anak buah, dalam hal ini diharuskan oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah untuk tiap-tiap orang yang bekerja demikian.
Pasal 568
Barang siapa menandatangani konosemen yang dikeluarkan dengan melanggar ketentuan pasal 517b Kitab Undang-undang Hukum Dagang, begitu pula orang untuk siapa dibutuhkan tanda tangan sesuai dengan kewenangannya, diancam jika konosemen lalu dikeluarkan, dengan pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.
Pasal 569
  1. Barang siapa menandatangani surat jalan yang dikeluarkan dengan melanggar ketentuan pasal 533b Kitab Undang-undang Hukum Dagang, begitu pula orang untuk siapa dibutuhkan tandatangan sesuai dengan kewenangannya, diancam, jika surat lalu dikeluarkan, dengan pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.
  2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa bertentangan dengan pasal 533b Kitab Undang-undang Hukum dagang, memberikan surat jalan yang tidak ditandatangani, begitu pula orang untuk siapa surat diberikan menurut kewenangannya.
Baca selengkapnya »
 

Mengenai Saya

Foto saya
jakarta, jakarta, Indonesia
UNIAT Jakarta

Pengikut

About Us

© 2010 Hukum Pidana - kuliah fakultas hukum Design by Dzignine
In Collaboration with Edde SandsPingLebanese Girls